Membangun dalam Hemat Cermat dan Bersahaja

By Golfing Enthusiast on 15.51

Filed Under:


Itu bunyi dasa darma gerakan pramuka. Penghematan disegala lini memang perlu diukur mikrometer sekrup lagi. Sekarang penghematan baru hanya berkutat pada hal-hal yang bila terasa merugikan secara mendadak dan sporadis. Seperti pada pemadaman listrik dengan kata hemat listrik ketika minyak dunia mahal. Bila musim kemarau tiba, maka kita berkata hemat air. Bila jatah DAU, DAK kurang lalu SKPD boros berharap ada penghematan penghuninya.


Itu bunyi dasa darma gerakan pramuka. Penghematan disegala lini memang perlu diukur mikrometer sekrup lagi. Sekarang penghematan baru hanya berkutat pada hal-hal yang bila terasa merugikan secara mendadak dan sporadis. Seperti pada pemadaman listrik dengan kata hemat listrik ketika minyak dunia mahal. Bila musim kemarau tiba, maka kita berkata hemat air. Bila jatah DAU, DAK kurang lalu SKPD boros berharap ada penghematan penghuninya.
Kita memang selalu mendengungkan kata efisiensi berakibat pada kata efektiv bukan sebaliknya unefisiensi. Tapi kata ini masih berkutat pada sektor swasta. Seperti pemangkasan biaya iklan, perampingan karyawan, serta penggunaan teknologi dan informasi terbarukan dan alternatif lainnya yang terus berujung untuk kata hemat.
Tapi tidak halnya bagi dunia pemerintahan sampai saat ini. Terutama pemerintah daerah, yang masih harus melakukan gerakan sadar dalam rangka penghematan anggaran. Pada lini SKPD berikut turunannya masih terkesan bagaimana membuat anggaran sebesar-sebesarnya, kemudian menghabiskan anggaran tersebut sampai tersisa pada angka nol. Jika tidak dihabiskan maka tahun berikutnya jangan harap dapat anggaran segitu lagi, begitu rahasianya.
Berhemat tidak berarti pula menahan selera. Apalagi terhadap selera seperti pelantar, jalan lurah (=desa), jalan kecamatan, dan jalan kota sampai ke perumahan yang mulus. Seperti kita mendehem pada gadis yang mulus, kagumkan! Begitu pula pada bangunan yang kokoh dan mengacu pada konsep selalu up-grade. Tapi berhemat yang kita inginkan adalah pas pada acuan yang dinginkan tanpa tambahan bentuk lain yang tersembunyi seperti korupsi dan mark-up.
Berhemat dapat dimulai dari pembanguman proyek infrastruktur yang mengacu pada standar nasional dan dikerjakan oleh yang memang berpengalaman. Bukan sekedar kerabat atau relasi yang dianggap baik tolerannya. Baik pada proyek skala kecil sampai yang namanya mega proyek sekalipun jika daerah kita dapat.
Tapi kita sudah biasa membangun dengan modal apa adanya dan terkesan pemaksaan, yang penting ada, golongan sana dapat disini juga dapat. Masing-masing dapat sikit-sikit sesuai janji dulu. Soal mutu belakangan. walau sebenarnya dana kurang. Padahal bangsa ini dulunya sudah terbiasa membangun dengan bahan yang berkualitas tinggi. Lihat candi-candi kuno, mesjid tua, dan beberapa istana peninggalan kerajaan yang masih kokoh sampai sekarang.
Dulu orang kampung membangun rumah dengan kayu pilihan yang dimulai dengan menilai ketuaan kayu, apakah kayu sedang berbunga, sampai cara menebang, bahkan sebelum ditebang berbagai doa pun dipanjatkan. semuanya menjadi perhatian agar didapatkan kayu berkualitas tinggi. Dan rumah yang dibangun nantinya tahan sampai anak-cucu.
Tapi tidak demikian sekarang. Kita sekarang terbiasa membangun pada level rendah apa adanya. Yang penting jadi dan pemborong untung, lalu ada yang dapat jatah. Ironisnya, ada anggapan bila cepat rusak kita bangun lagi dengan anggaran baru.
Bila hancur dibangun lagi seperti dulu, bila perlu modelnya sama sehingga hemat anggaran. Tidak ada penilaian ke bawah yang berlanjut dari hasil pembangunan dan kemungkinan kebutuhan dan fenomena masa depan.
Maka tidak heran kita lihat misalnya ada saluran air yang dibangun pada sebuah gedung, mata sekop pun tidak masuk. Sehingga bila saluran mempet jadi susah membuang sampah dan tanah yang mengendap. Kenapa, kita kadang tidak berpikir yang kita bangun pada hakikatnya perubahan ke arah yang lebih baik dan perubahan itu akan memudahkan penghuninya dan efek buruk lain yang akan mungkin timbul.
Begitulah, tidak habis-habis dengan membangun itu-itu terus. Padahal yang kita gunakan untuk membangun itu hanya 20 sampai 30 persen dari anggaran yang ada. Sudah sedikit, kemudian terbuang percuma karena daya tahan umur bangunan yang singkat.
Walau sebenarnya untuk menekan system ini telah didengungkan sistem pembangunan multiyears yang bikin kita kadang tidak sabar. Habis terbengkalai dulu setahun, baru dilanjutkan lagi tahun berikutnya. Waktu terbengkalai entah siapa yang menjaga. Sehingga bila ada kerusakan entah siapa yang akan bertangung jawab. Tapi dengan sistem ini kita harapkan pembangunan betul-betul memuaskan karena memang dana betul-betul dianggarkan jangka waktu tertentu.
Untung kita masih punya swasta yang cukup komit dan cermat akan aturan sepenuhnya. Para swasta membangun pada tatanan sebenar yang kita harapkan mempercantik warna pembangunan di kota ini. Lihat saja para swasta yang membangun hotel, mall, dan perkantoran modren.
Mereka membangun dengan pandangan memidik seolah-olah mereka telah berada di masa depan seperti hayalan di filem. Setiap membangun mereka mengacu patuh pada IMB dan konsep ramah lingkungan. Lahan parkir disediakan walau di bawah tanah sekalipun, taman-taman yang cantik dibuat, ruang menyusui pun dibuat untuk menghormati hak asasi ibu dan anak. WC ada penjaganya sekaligus disediakan segala perlengkapan, dan standar kebersihan WC dituliskan disana agar jadi penilaian masyarakat berikut kotak pengaduan jika ada kekurangan dirasa terluput dalam pelayanan. Bagaimana dengan gedung-gedung milik pemerintah? Kita harus bayar mahal seperti bandara Hang Nadam Batam.
Coba lihat misalnya, di pelabuhan domestik kita disambut calo-calo seperti kekurangan ide untuk menatap penghasilan lain. Entah kapan kita akan merasakan disambut gadis dan abang melayu yang berpakaian rapi ramah penuh senyum. Bangunannya bergaya gudang. Layak sebagai tempat penampungan bagi migran yang tidak punya KTP.
Atau di pelabuhan pancung sekupang apakah ada lahan parkir disana? Trotoar untuk pejalan kaki mala dijadikan tempat parkir. Para porter pun berjubel di pangkalan seperti gubuk derita. Inilah bukti konsep pembangunan dulunya yang tanpa studi kelayakan yang baik.
Lalu kita selalu mengutamakan bangsa lain dulu, kalau buat kita-kita infrastruktur yang sederhana saja, kotorpun tidak mengapa. Hal ini tampak jelas antara internasional port dan domestik. Alangkah indahnya bila dua-duanya terlayani dengan baik dalam satu atap. Ingatlah konsep satu atap kita dalam melayani investasi, pendidikan satu atap dsb. Kalau seperti saat ini terkesan kita ambil muka di balik tatap keburukan yang juga akan tetap tampak. Habis domestik dan internasional tetangga sih!
Kita sangat berharap pemerintah yang membangun perkantoran, sekolah, jalan, pelabuhan, dan lain-lain. Mengedepankan rasa memiliki bersama, level kaya dan miskin, tamu agung atau kaum awam.
Tapi masih untung untuk membangun jembatan tidak sembrono. Itu bangga kita pada jembatan barelang yang berkonstruksi megah. Walau dibangun di hutan, tapi itu adalah ketelitian menatap masa depan dan sebagai bukti telah kita jadikan ikon kota.
Begitu juga ada sarana-sarana umum modern telah yang dibangun pemerintah di hinterland. Ini sebuah kemajuan yang patut dipertahankan. Kita tunggu peruntukan masa depan yang lebih bagus lagi.
Dalam hal ini seperti tak mengapa pula kita membangun halte disamping halte, bukan jeruk minum jeruk kata iklan, itu penambahan yang positif. Keuntungannya makin banyak kita punya tempat ‘’menanti’’ seperti istilah menanti kata pak samson rambah pasir. Yang kurangnya, terlihat betapa menyedihkan para pegawai feeder ini tanpa disediahkan counter yang layak seperti ada meja, kursi, dan WC yang ada kran air, serta kaca pembatas untuk sekedar tempat mendengkur sekejap kalau-kalau ngantuk berat. Seperti counter juru parkir di mall itulah minimal. Inilah membangun terukur dalam link konsep memanusiakan manusia.
Demikian contoh yang kita harapkan, sehingga berikutnya Tender-tender yang akan dijalankan para pemborong semakin kedepan semakin baik. Tidak lagi merasa bersalah karena tidak berbagi rasa. Ya pemborong, ya konsultan yang ditunjuk pemerintah tidak lagi berkolaborasi dengan sistem ‘’temurun’’ yang mengasyikan itu.
Bagaimana membuang ‘’temurun’’ itu, yang membuang adalah kesempatan, niat, dan aturan legal yang ada. Kesempatan temurun ini bersama kita batasi. Bagaimana caranya, tentu dimulai dari kesadaran hukum, aturan yang ada diikuti komitmen serta ‘’mafia positif’’(=ide brilian) pemegang keputusan. Pembukaan dan pengumuman tender yang jujur, dan kepedulian semua golongan masyarakat untuk mengontrolnya. Dan ada one stop pengaduan yang tersedia untuk menampungnya.
Bagaimana dengan niat? Inilah kebesaran hati yang kita harapkan dari pemerintah dan mitra pemerintah yang membangun, betul-betul membangun dengan konsep berwawasan sosial dan lingkungan dalam rangka pengabdian diri pada masyarakat. Itu nikmat lho..! jika berhasil.
Hal lain yang selalu kita dengar adalah prinsip keterbukaan pemerintah. Termasuk segala informasi mengenai apa saja yang dibangun, sumber dana, dan waktu peruntukannya. Bukan melulu sebagai pilot project, tapi betul-betul pilot project menambah pundi kas daerah, dibalik pengabdian kepada masyarakat. Itu untuk proyek-proyek yang berupa BUMD. Yang pada akhirnya dapat digulirkan lagi untuk masyarakat dalam pembangunan lainnya.
Kita selalu melihat papan nama pada berbagai proyek pembangunan. Tapi papan nama ini tidak ada pengembangan model, sejak zaman ‘’kuali pecah’’ tidak berubah-ubah hingga reformasi total saat ini.
Cobalah di papan itu ditambahkan kata-kata baru. Selain nilai proyek dan waktu pembangunan cobalah dicantumkan misalnya, No HP pejabat pengontrol yang berwenang, atau misalnya tempat pengaduan ke pemerintah dan dewan.
Di papan juga terpampang nama PT atau CV yang membangun, ada bagusnya tuliskan juga alamat dan pimpinan perusahaan itu. Ini perlu agar masyarakat juga tau kinerja mereka. Jadi selain penilaian pemerintah, masyarakat juga tau kesungguhan mitra pembangun.
Atau yang disebut plang proyek itu dibuat bagus sekalian seperti prasasti proyek skala besar. Dapat diterapkan sejak sekarang pada proyek-proyek besar atau kecil oleh pemerintah daerah. Tentunya disahkan langsung pejabat yang sedang berkuasa. Sehingga setelah selesai pun seumur dengan hasil bangunan. Bukan lagi seumur jagung yang ditanam di tanah gersang tanpa dipupuk pula.
Katanya kita mendengungkan dokumentasi di semua lini sebagai pertangungjawaban. Nah, prasasti ini nanti akan jadi sarana pegangan pembangunan masa depan generasi kita berikutnya. Apakah hasil pembangunan masih berupa pepatah harimau mati meninggalkan belang atau sebaliknya, bila hasilnya oke menjadi akan dikenang orang sepanjang awetnya bangunan.
Semua akan akan terkenang disini hati masyarakat, sebagai konsep belajar saat ini menuju pengembangan skala prioritas keinginan masa depan selanjutnya, semua itu tergantung niat, kesempatan, dan tetap berhemat agar selalu bersahaja di mata awam kita.

By Agus Hendri
Belakang Padang, 19 Januari 2009

0 komentar for this post

Posting Komentar

terima kasih