PENDIDIKAN INKLUSIF MENUJU ‘PENDIDIKAN UNTUK SEMUA’

By Golfing Enthusiast on 21.41

Filed Under:


Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan hak memperoleh pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dijamin oleh UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Konvensi Hak Anak 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990, Kerangka Aksi Dakkar 2000, Sistem Pendidikan Nasional 2003, dan Deklarasi Kongres anak Internasional 2004.



Berbagai kebijakan, dan terciptanya undang-undang baru di era reformasi sampai konvensi internasional yang terbentuk melindungi anak-anak berkebutuhan khusus sangat besar pengaruhnya bagi kualitas pendidikan di Indonesia, walau kadang terasa lambat respon seperti jalan siput sampai ke daerah.

Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan hak memperoleh pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dijamin oleh UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Konvensi Hak Anak 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990, Kerangka Aksi Dakkar 2000, Sistem Pendidikan Nasional 2003, UU Perlindungan Anak, dan Deklarasi Kongres Anak Internasional 2004.

Semua anak dilihat tanpa memandang perbedaan suku, agama, bangsa, kekurangan maupun kelebihan. menjamin kebebasan anak untuk berinteraksi, bereksplorasi, serta bersosialisasi secara aktif dan proaktif dengan anak-anak normal secara bersama.

Yang kita rasakan saat ini adalah Kurangnya kesadaran para pembuat keputusan di daerah mengacu pada undang-undang di atas-nya karena terlambat sosialisasi petunjuk. Inilah akar permasalahan dalam pencapaian Pendidikan Untuk Semua (EFA).

Ini berakibat pada kurangnya pemahaman dan komitmen terhadap konsep EFA yang kemudian berdampak pada ketidakmampuan dalam merancang sistem yang mampu mendukung konsep pendidikan berbasis kesetaraan.

Terlihat di daerah, yang masih mengedepankan pembangunan infrastruktur gedung sekolah, Meningkatkan persentase kelulusan, menyekolahkan kembali siswa yang dulu tidak mau sekolah, dan menghapuskan buta aksara, terkesan mengabaikan SDM ABK yang juga ingin mengenal aksara mereka.

Sebagaimana diketahui selama ini, model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus.

Sekarang sekolah model ini kita ketemukan hanya di kota/kabupaten saja. Begitu sulit dijangkau kaum ABK di hinterland/pedesaan.

Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi Disdik, guru, dan administrator dalam mengelola sekolah karena telah dikhususkan.

Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan karena model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.

Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, berencana menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Pada akhirnya mereka mala menjadi beban bagi masyarakat karena tidak mampu bersosialisasi setelah menamatkan pendidikan.

Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal. Apalagi yang dikelola swasta. Padahal tidak semua anak berkebutuhan khusus adalah berasal dari golongan mampu. Baik akan akses pengetahuan dan kesadaran akan pendidikan keluarbiasaan maupun dalam hal penyediaan dana bagi anak mereka yang ABK.

Karena itu, sistem pendidikan inklusi yang sekarang dicanangkan bertujuan untuk menekan dampak tersebut dengan memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak dengan kebutuhan khusus. Betapa pun kurang beruntungnya mereka. Tentu saja dengan meningkatkan kemandirian dan partisipasi individu mereka berarti kita mendukung wacana pendidikan untuk semua.

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan prinsip ” Selayaknya dengan rasa kasih sayang orang tua yang ada, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”

Pendidikan ini (inklusif) diharap dilaksanakan di sekolah umum kelas reguler. Anak ABK belajar bersama anak normal dan sewaktu-waktu dapat dipisahkan dari anak normal jika proses pembelajarannya memang harus demikian. Karena tentu model ini jangan sampai pula menganggu anak reguler.

Jika tidak memungkinkan bergabung dengan anak normal dalam kurikulum yang sama. Di sekolah umum (reguler) bisa saja disediakan kelas khusus dan guru pembimbing khusus bagi anak-anak ABK dengan harapan tetap bisa berinteraksi dengan anak-anak normal. Dan anak-anak normalpun belajar berinteraksi menerima kesulitan dan kelemahan anak ABK.

Guru pembimbing ABK pun diberi keleluasaan menyesuaikan kurikulum yang ada sesuai situasi dan kondisi anak ABK.

Namun kendala utama sekarang di sekolah reguler adalah tidak adanya guru anak ABK, dan hanya ada di sekolah model segregasi. Lagi pula LPG umum (Lembaga pendidikan Guru) belum memasukan mata kuliah ABK sebelum ini.

Karena keterbatasan guru pembimbing khusus ini, sekarang Pendidikan Guru Sekolah Dasar S1 (PGSD) telah mulai dibekali ilmu tentang anak berkebutuhan khusus ini. Demikian juga hendaknya pendidikan calon guru SLTP dan SLTA.

Kendala lain, selain kurangya kebijakan di daerah dan guru pembimbing khusus dalam pelaksanaan pendidikan inklusi diantaranya adalah,
1. Pendidikan inklusi belum populer di masyarakat. Sehingga kurangnya kepedulian, partisipasi, dan kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak mereka yang ABK.
2. Masyarakat hanya disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun vertikal untuk anak-anak normal. Apalagi dengan adanya UAN.
3. Pelayanan pendidikan ini memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar.
4. Perlu adanya integrasi lembaga dan ahli dalam penanganan anak ABK.
5. LPTK yang mengajarkan ilmu pedagogik ABK sangat sedikit.
6. Kurangnya guru pembimbing khusus ABK di banyak daerah.
7. Pemerintah daerah lamban dalam kebijakan dan dana menangani ABK di daerah.
8. Masih adanya penolakan dari orang tua anak-anak normal agar anak mereka tidak bergabung belajar dengan anak ABK.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, lebih lanjut pendidikan harus bekerja keras lagi dalam mendukung pelaksanaan produk hukum yang ada dan kebijakan inklusi yang telah dibuat. Tentu saja dengan komitmen penyediaan dana dan prasarana yang akan mendukung suksesnya pendidikan inklusi di sekolah umum dan segregasi yang telah eksis.

Untuk itu, hal urgen yang perlu dilaksanakan segera selain dana dan prasarana adalah,
1. Komitmen pemerintah daerah sebagai ujung tombak otonomi pendidikan dalam kebijakan serius menangani anak-anak ABK.
2. Menyediakan psikolog dan guru pembimbing anak khusus berlatar belakang pendidikan guru keluarbiasaan yang menjangkau setiap kota kecamatan. Minimal dua guru pembimbing khusus di setiap kecamatan. Karena guru sekolah umum selama ini tidak dipersiapkan untuk menangani anak-anak ABK.
3. Pemerintah daerah mengirim putra-putri daerah yang berminat ilmu pedagogik ABK ke perguruan tinggi yang ada. Misalnya UPI Bandung.
4. Mempromosikan dan mensosialisasikan pendidikan inklusi pada pelaku pendidikan sendiri dan masyarakat umum, baik melalui mediamassa sampai mengundang para orang tua yang memiliki anak yang ABK.

Bila keempat unsur urgen tersebut di atas terpenuhi diharapkan pendidikan inklusi di daerah akan berhasil. Pada akhirnya akan memajukan tujuan nasional, dunia dalam konsep pendidikan untuk semua.

0 komentar for this post

Posting Komentar

terima kasih