Wajar saja dia tidak memahami perkembangan situasi lain dari dunia yang makin lain. Dunia yang makin tua semakin meninggalkan teknologi yang sudah tua. Meninggalkan jauh orang tua yang tidak mau tau dari hal baru dan terus akan diperbaharui.
oleh Agus Hendri
Teman dan rekan-rekan ketika membaca koran selalu saya perhatikan. Seorang teman yang sangat suka bola, bila beli koran langsung saja ke halaman 2 terakhir. Ya, ternyata disitu ada berita bola dan olahraga lainnya. Ia suka banget itu. Maka kalau kerumahnya selalu disuguhkan pembukaan bicara bola.
Seorang rekan sekantor juga demikian. Karena dia suka berita artis, dengan mudah, tinggal balik kanan (baca:halaman terakhir) berita yang dia sukai pun langsung dipelototi. Maka tak heran berita gosip seputar selebriti tinggal tanya kepadanya. Ketika topik ini dikicaukan, maka dialah yang paling aktif berkicau. Tapi bila soal berita lain, dia berpaling diam sedikipun tak nak nyahut, tak tertarik.
Saya juga demikian, terbiasa langsung ke halaman tajuk rencana dan iklan. Setelah tajuk rencana selesai baru dibaca lembaran lain tanpa mengabaikannya. Terakhir berlama-lama dengan iklan dan lowongan kerja. Tanpa dinyana berlama-lama dengan iklan, ternyata jadi mengasah jiwa enterpreneurku.
Ada juga seorang rekan yang baru akrab. Seharusnya tau tapi dia tidak tau. Dia seorang yang cukup pintar di antara pergaulannya, terbukti dengan kuliahnya selesai tepat waktu. Kutanyakan kepadanya dengan sedikit tegas-menegas. ‘’Di kantor bapak kan ada langganan koran, koran itu dibaca semua apa tidak’’ tanya saya. ‘’oh, tidak pak, yang penting-penting saja.’’ Jujurnya.
Wajar saja dia tidak memahami perkembangan situasi lain dari dunia yang makin lain. Dunia yang makin tua semakin meninggalkan teknologi yang sudah tua. Meninggalkan jauh orang tua yang tidak mau tau dari hal baru dan terus akan diperbaharui.
Disinilah aku menyusup memasukan pengalaman yang mungkin menohok lagi buat dia tentang masa kecil. ’’ Kalau saya pak, ketika masih di bangku SD uda pandai beli koran, semua halaman tak ada yang terlewatkan.’’ Dia diam, saya lihat tangan kanannya ke dagu menerpa pipi kanan.
Lanjut saya,’’Yang lebih menyedihkan ketika saya SD di Tahun 1980-an, saat itu koran hanya ada dijual di kota kabupaten. Yang terbit ketika itu hanya koran terbitan Jakarta. Belum ada koran lokal yang terbit di daerah seperti sekarang. Itupun terbitnya sekali seminggu.
Saya waktu SD sedikit beruntung. Tinggal di pasar desa yang keramaiannya sekali sepekan cukup membuat saya mengenal koran yang beragam. Koran-koran terbuang sebagai bekas pembungkus dan alas jualan para pedagang yang berserakan setelah pasar usai. Itulah yang dapat diandalkan jadi bacaan dari segala keterbatasan hidup dan keadaan kala itu.
Dari sinilah bermula kebiasaan membaca saya tanamkan dari diri sendiri dengan membaca koran-koran bekas itu. Inilah rupanya istilah koran bekas masuk desa dicanangkan pemerintah kala itu yang tanpa sengaja. Walau usang dan bau karena bekas ditumpuk ikan asin, tetap semangat untuk dibaca.
Sampai sebuah kalimat saya pahami dalam buku bacaan perpustakaan SD yang tersusun bukan di perpustakaan. Bahwa berita yang belum pernah kita baca, itu berati berita itu sebenarnya masih baru buat kita. Dan berarti koran itu baru buat saya karena baru saya baca. Padahal di atas koran jelas tertera tanggal koran tahun lalu. Namun kata bijak itu selalu membuat koran bekas seolah baru.
Yang paling menyenangkan ketika saya SD adalah bila ibu pulang dari pasar dan lagi pula Ia jarang kepasar. Kenapa jarang? Karena tidak bisa bawa daun dijadikan duit sampai di pasar. Selain bungkusan cendolnya yang kunantikan, yang kuharap kedua adalah bekas koran bungkusan ikan teri, cabe, dan bawang yang dibelinya di pasar. Inilah komoditi yang selalu dibungkus pedagang dengan koran.
Setelah koran didapatkan, berkata hati ketika mau membaca bungkusan ikan teri itu, karena pasti bau amis koran akan pindah ke tangan. Namun kan bisa cuci tangan nantinya. Ya, tapi tetap saja akan tanpa sabun. Sama juga nanti tangan tetap juga akan bau amis. Tapi hal bau ini selalu terabaikan. Maklum mandi aja tidak terbiasa pakai sabun. Kenapa? ‘’Ngapain beli sabun, lebih baik uang beli sabun untuk beli beras,’’ kata ibu.
Namun koran-koran itu tetap aku harapkan dan selalu menjadi sahabatku ketika pekan di hari Selasa itu usai. Terpakulah aku duduk sendiri di los pasar tanpa kawan.
Ada warna pasti yang kubayangkan dari koran-koran itu. Bila koran itu sudah berwarna kuning, maka dapat dipastikan koran itu adalah bekas pembungkus atau alas ikan yang digelar pedagang. Terlihat kuning membulat, seperti bulatan tempelan belakang celanaku yang seperti kecamata pantat, dikiri dan kanan.
Yang paling kuharap ditemukan adalah bekas koran pedagang kain. Koran jadi seharum pakaian yang dijual pedagang yang tak sanggup ayah belikan sekali setahun itu.
Tidak begitu nikmat rasanya apa-apa yang saya tau dari membaca koran itu, hanya tau oleh diri sendiri. Pada saat yang tak terduga kadang-kadang mulut saya memberi tahu juga kepada teman sesuai topik yang sedang diceritakan ketika bermain bersama.
Saat kumpul sama teman, bicara tentang ini berbagai tentang kadang jadi tantang menantang bila tidak disetujui. Sampai pada topik tape recorder. Saya ceritakan sekarang ada tape recorder (auto reverse) yang bisa berbalik sendiri jika kasetnya habis, dan kemudian bisa nyanyi lagi tanpa kita buka-tekan stop dan putar kasetnya.
Akupun kena cemooh teman-teman. ‘’Mana ada dan mungkin pembual.’’ ejek teman-teman dengan kompaknya. Saya tidak bisa membela diri dan meyakinkan mereka satu banding banyak. Ceritapun berlalu begitu saja tanpa kepercayaan. Saya hanya bisa diam entah siapa yang mau mempercayai selain diriku sendiri dan koran amis itu.
Disaat yang lain, terbuka lagi cerita tentang sepeda. Saya beri info ada sepeda yang sadel dan pengayuhnya ada 3 buah. Teman-teman tidak terima, ‘’Mana ada itu tukang bual’’ kata mereka. Dan memang di kampung kami kala itu benar adanya tidak ditemukan sepeda seperti itu.
Itulah dua contoh cerita tentang penafian dari hasil saya membaca kala SD dulu. Apa yang saya ceritakan adalah yang saya ketahui dari hasil membaca aktual. Betapa yang tidak membaca tidak tau dan tidak akan mau tau karena memang tidak tau. Bila saya beri tau hanya kata sangkalan yang didapat.
Sampai dewasa saat ini pun demikian. Kadang pemikiran aktual yang saya dapatkan lalu saya jadikan referensi ketika kemukakan pendapat di waktu yang tepat. Mala itu adakalanya jadi perdebatan yang sengit karena tidak bisa di terima teman-teman. Kadang berujung pada rasa tidak enak dan peletakkan perkataan keras kepala. Itu tentu saja ditujukan buatku. Tersebutlah disalahkannya watak saya yang agak lain dan berbeda. Benarkah begitu? Atau sebaliknyakah..
Memang banyak membaca menjadi kita lain dari yang lain. Bila memahami persolaan dilihat dari berbagai sudut pandang dan tingkatan yang berkaitan. Benar adanya apa yang kita baca hari ini akan memudahkan bacaan berikutnya dan berikutnya. Dan terus akan meninggikan pola pikir seseorang.
Sekarang di dasawarsa akhir tahun 2000-an. Peran teknologi informasi mewabah dunia. Informasi mengitari ruang udara di atas kepala. Informasi mengalir di fyber optik di dalam bumi dan laut. Tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Saya pun telah memasukinya. Ada yang menamakan sebagai alam maya, ada juga menyebutnya dunia cyber. Saya lupakankah membaca koran bekas itu? Tidak.
Koran yang saya baca tidak bau amis lagi. Tidak juga bau tinta percetakan atau bau-bau zat kimia dari proses terjadinya kertas. Lalu? Saya cukup baca koran online. Kini saya juga dapat membaca yang namanya website, blog, e-paper, e-mail, e-book, dan serba e lainnya. Koran yang saya baca tidak akan lapuk lagi, tidak berkutu putih lagi bila saya simpan lama namun tidak bisa lagi kita gunakan pembungkus ikan teri.
‘’Lalu teman masa kecilmu dulu bagaimana kabarnya?. Adakah ia ikut membaca koran dan mengenal e-e mu tadi?’’ ‘’jadi tidak mengenal semuanya.’’
Belakang Padang, 1 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar for this post