Daerah Mekar ‘Usaha Barupun Mekar’ Mindsetpun Mekar

By Golfing Enthusiast on 06.31

Filed Under:


Seperti anak sekolahan yang pernah satu kamar kost, merasa tidak cocok, salah satunya ingin berpindah kamar walau tetap satu rumah. Maka terbentuklah beberapa provinsi baru, kabupaten/kota baru secara sporadis, ratusan man!


Semenjak uu otonomi daerah bergulir menjadi landasan disentralisasi, pemekaran wilayah menjadi booming di tanah air. Dan terkesan penggabungan daerah (merger), no way.

Kalau dulu kita terbiasa menyebut Indonesia dengan 27 provinsi selama 24 tahun sejak 1975, sebelum merdekanya timor-timor. Sekarang kita menyebutnya 33 provinsi.

Seperti anak sekolahan yang pernah satu kamar kost, merasa tidak cocok, salah satunya ingin berpindah kamar walau tetap satu rumah. Maka terbentuklah beberapa provinsi baru, kabupaten/kota baru secara sporadis, ratusan man!

Esensi pemekaran adalah euforia permintaan pemerataan pembangunan. Begitu juga kehendak tata letak demografis, topografis, dan geografis agar semakin dekat dengan pusat pemerintahan daerah otonom (ibukota). Semanisnya, pelayanan publik sampai ke akar rumput lebih maksimal. Baru kemudian diikuti berbagai ego primordial lainnya.

Dari pengkaplingan daerah, diinginkan pemerataan agar memberi rasa keadilan atas pembagian kue-kue (baca:uang) pendapatan pusat. Atau menarik kembali ‘penjualan buah-buah ranum’ yang telah diambil oleh pusat agar kembali lagi ke daerah. Setelah didapat, dapat mengurusnya sendiri tanpa bertele-tele pada perangkat birokrasi pemerintahan yang diotonomisasi, kecuali 5 departemen. Walau pada kenyataannya masih bertali-tali karena SDM yang dipertanyakan kreativitasnya di daerah.

Apa bentuk kue-kue dari pusat itu? Adalah berupa DAU, DAK, DBH, dan dana bantuan langsung departemen untuk daerah, sesuai program populis masing-masing departemen. Dana segar ini mengalir ke daerah. Sayang, 70% dana itu habis demi keberlangsungan proses penyelenggaraan pemerintahan termasuk gaji pegawai. Baru sisanya, 30 lagi dialokasikan untuk pembangunan segala bidang. Terbesar mendapat porsi adalah wajah pendidikan dan kesehatan. Namun dimanapun habisnya, asal di daerah (tidak dibawa studi banding melulu :-P) tetap itu adalah insentif bagus buat mendongkrak perekonomian kerakyatan.

Melahirkan orang kaya baru

Semangat berdirinya beberapa provinsi dan kabupaten/kota baru, telah melahirkan raja-raja kecil, pejabat baru, dan perekrutan pegawai untuk menjalankan daerah otonom. Penambahan elit lokal ini seyogyanya melahirkan warga sejahtera baru, bukan! Lihat saja, sebelum reformasi jumlah kabupaten/kota 303, sekarang 489 (peb 2009).

Elit-elit lokal yang lagi naik daun ini bagi yang panjang akal tentu dapat dimanfaatkan lagi-lagi sebagai peluang. Tapi sebaiknya bukan dari pejabat yang panjang tangan, ya. Just kidding, Hehe.

Sebelum otonomi bergulir, pemerintahan sebelum reformasi berusaha membuat konglomerat sebanyak-banyaknya. Setelah banyak diharapkan meneteskan manisannya pada masyarakat miskin melalui lapangan kerja. Tapi itu tidak terjadi, mala uang dari kekayaannya dilarikan, disimpan di luar negeri, atau diinvestasikan di negara asing agar lebih aman bila sewaktu-waktu krisis terjadi. Begitulah kalau kita menciptakan pengusaha besar. Sebaliknya bila kita membina usaha kecil, gunakan produk dan bahan baku lokal. Pasarnya pun lokal terbukti lebih tahan banting (krisis)

Era otonomi lain lagi. Selain menumbuhkan elit lokal, diharapkan daerah pemekaran baru ini menciptakan atau mendatangkan investasi normal tingkat kab/kota. Baik investasi pengusaha lokal, investasi vertikal swasta, dan BUMN yaitu berupa pembentukan kantor cabang BUMN/BUMD seperti bank BPD, Hutama Karya, bank-bank nasional, kantor-kantor penjualan distributor dari perusahaan nasional, lahirnya grosir besar, serta kontraktor-kontraktor berstandar lokal serta sektor ritel dan jasa lainnya. Yang tak kalah penting adalah menumbuhkan industri kreatif sebanyak-banyaknya di daerah.

Mereka inilah yang diharapkan sebagai UMKM dan koperasi yang katanya lebih tahan terhadap goncangan krisis. Sepatutnya pemerintah daerah melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Bukan mala menyulitkan mereka dengan segala perda dan tarik ulur hukum lain yang terkesan mengekang kreatifitas. Sedikit-sedikit salah, buat ini-itu kena tangkap. Bah! jadi takut usaha jadinya.

Lihat saja betapa banyak pengusaha kecil yang asetnya jadi mubazir setelah penangkapan terjadi. Karena tidak terang dan terkesan memanfaatkan hukum menjadi pembenaran. Misalnya; terjadi penangkapan kayu di laut. Ya, kayu dan orangnya saja yang ditangkap. Jangan dengan pompong/kapalnya sekaligus, karena kapalnya segera bisa digunakan kembali untuk berproduksi kerja ketika proses hukum berjalan. Bukan berarti pula mau mengesahkan usaha-usaha yang ilegal, begitu!

Uang yang mau keluar kandang (kas)

Sedangkan bila itu pecahan provinsi, misalnya di Riau pecahannya terbentuk provinsi Kepulauan Riau (kepri). Sumatra Selatan pecahannya berdiri provinsi Bangka Belitung. Pecahan Ini memberi peluang pecahnya pula kantor-kantor wilayah ke ibukota prov baru atau lama. Seperti kantor BKN, kator wilayah PLN. Dan sektor swasta, misalnya kantor PT. Sosro Indonesia, coca-cola company, PT. tempo dan sebagainya.

‘Pecahnya buah karet yang matang’ akan terjadi elite moving ke daerah baru atau dari daerah lama ke daerah pecahan yang mekar. Lagi-lagi ini adalah gairah baru dan patut dibaca sebagai peluang.

Pemekaran wilayah juga mengharuskan setiap daerah baru memiliki ibukota pemerintahan. Tentu saja diikuti dengan pembangunan infrastruktur kota seperti jalan, kawasan perdagangan, dan gedung perkantoran dari instansi satuan perangkat kerja (dinas).

Dan masing-masing kantor memiliki dana rutin berupa dana transportasi, pembelian barang habis pakai, dan perawatan gedung. Pencairan ini dapat direspon warga setempat dalam skala usaha kecil dan menengah. Uang tersebut harus dihabiskan dalam setahun anggaran. Hem, ini juga peluang bisnis bagi usaha yang telah eksis untuk membesar.

Dimulainya pembangunan sampai beroperasinya lembaga dan instansi tersebut lagi-lagi mencairkan uang. Yang pada ujungnya berimbas pada kesejahteraan masyarakat yang terlingkar-kait dalam kesatuan itu. Maka terjadilah urut domino yang bisa dicicipi siapa saja yang mau terjun menalang dan gesit membaca keadaan ini.

Tentu saja bagi yang mau ikut serta dan membaca pergerakan perkembangan pembangunan di daerahnya. Baik itu sebagai pekerja, pemasok, karyawan, mitra kerja dan sebagainya. Situasinya seolah-olah keadaan daerah baru mekar itu sebagai petugas AO sebuah bank yang siap mencari nasabah terpercaya untuk mencairkan uang bank sebagai kredit. Begitu juga dealer-dealer dan perusahaan pembiayaannya. Beberapa menit proses kredit, sejam kemudian motor pun dibawa pulang.

Begitulah keuangan daerah, harus keluar kas (kandang) dan dihabiskan. Jika tidak dihabiskan maka jangan harap lagi satuan perangkat kerja itu mendapat anggaran berikutnya yang lebih banyak. Seru bukan!

Seperti dana bergulir saja

Tenaga kerja, pengusaha, dan elit lokal yang terlibat mengurus akan memberi efek bola salju berupa penghasilan. So, pasti akan membelanjakannya ke pasar dan terjadilah penumpahan uang dari elit lokal ke masyarakat (pedagang). Dengan demikian akan ada gairah perdagangan sebagai wujud dana bergulir. Seterusnya menjadi daya beli masyarakat, bila uang tersebut sampai ke masyarakat dan kemudian dibelanjakan kembali.

Apalagi seandainya konsep tata ruang ibukota pemekaran (perkantoran) tersebut mau berbagi ruang dengan kawasan bisnis modren (terintegrasi). Baik itu pedagang kecil-menengah maupun pedagang kaki lima. Kemudian dipadukan dengan konsep wisata kota dan belanja. Kota terpadu ini diharapkan saling menghidupkan setiap warga yang mau berusaha. Dengan konsep terpadu ini semakin memancing warga elite yang jenuh rutinitas agar lebih berkonsumsi lagi membelanjakan uangnya.

Sayang, masih jarang kita jumpai konsep demikian. Mala kebanyakan kantor-kantor pemerintahan diletakkan jauh ke pinggiran kota dan terkesan ekslusif. Bahkan menjadi high cost economy oleh pegawai dan masyarakat menuju kawasan kantor pemerintahan juga kawasan perdagangan. Yang lebih menyedihkan, ada sebuah daerah yang membangun kawasan perdagangan di tengah kota tanpa menyediakan tempat parkir seperti di atas gedung atau basement. Lucu aja, konsepnya gimana gitu. Padahal kawasan parkir juga sumber PAD.

Betapa susahnya meminta desentralisasi

Awalnya pembentukan daerah otonom adalah semakin dekatnya birokrasi ke kantong-kantong kemiskinan. Mensejahterakan masyarakat itulah esensi pemekaran. Ternyata sekarang masih banyak negatif dari positifnya sebuah pemekaran.

Itu karena pemda/pemko masih disibukan dengan pelayanan dasar yang dijanjikan bupati dan walikota saat kampanye. Apa itu? Yaitu pendidikan dan biaya berobat murah. Padahal kalau masyarakat tahu, itu bukan kampanye dari ide yang benar-benar baru, dari konsep kepala daerah sendiri. Tapi memang sudah program pemerintah pusat yang disiar ulang kepada masyarakat yang tidak mau membaca, akhirnya tidak tau. Hehe mau aja di rayu demikian! Tapi itulah politik harus pandai menpolitisnya.

Padahal tanpa dikampanyekan program itu tetap jalan, karena memang kebijakan di bidang itu sudah diamanatkan undang-undang. Yang tak kalah penting, menurut hemat saya adalah keberanian seorang bupati dan anggota dewan, bagaimana menumbuhkan pendapatan masyarakat secara mandiri dengan khas produk lokal.

Atau bupati/walikota harus panjang akal (kreatif/innovatif) bagaimana memasukan duit dari luar daerah. Mendatangkan helaian duit dari kabupaten, dan provinsi tetangga. Mencari produk-produk unggulan, bila perlu kemudian dijadikan ekspor unggulan. Baik itu hasil produksi pertanian/perkebunan, peternakan, atau hasil kreatif hasil cipta karya masyarakat dengan bahan baku lokal. Ini yang belum sempat terpikirkan. Habis kepala dinas daerah kebanyakan birokrat yang tidak biasa dagang, akhirnya terkesan bingung membina usaha-usaha lokal dan koperasi.

Saya sangat heran di sebuah kabupaten di Riau yang mempunyai hutan bambu alami yang sangat luas. Tapi oleh masyarakat dibiarkan begitu saja. Ya pasti, mereka warga hutan tidak tahu teknologi untuk memanfaatkannya menjadi perkakas bernilai jual. Pada akhirnya hutan bambu subur itu hanya ditebang begitu saja dan kemudian lahannya dijual. Oleh pembeli dari luar daerah yang panjang akal kemudian dibuat lahan perkebunan.

Sepertinya kepala daerah saat ini hanya terpaku habis waktunya dalam aturan protokol yang tidak begitu greget. Yang bergreget itu adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang kreatif dan masyarakat menyadari bahwa peningkatan status menjadi daerah otonom adalah sebuah peluang bersama, sejahtera bersama, dan maju bersama rakyat. Jangan sampai ada gap yang mencolok antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyatnya.

Bila pemerintah daerah kreatif, diharapkan mampu menciptakan warganya yang kreatif pula. Jika pemerintah tidak kreatif maka pandainya hanya meminta bagi hasil ke pusat lalu terkumpul dalam bentuk APBD atau menggali potensi PAD lewat pajak/retrebusi, biasanya daerah membuat perda sebagai legalitas untuk memungut. Pada akhirnya perda-perda itu menyakitkan hati usaha kecil menengah karena terkesan mereka menjadi sapi perahan daerah. Dibalik kurangnya pelayanan pemda/pemko memperhatikan usaha kecil. Pada akhirnya APBD hanya berkutat pada infrastruktur yang seolah-olah tidak pernah tuntas dibangun. Seperti pada jalan dan gedung-gedung perkantoran serta sekolah. Padahal masih banyak bentuk infrastruktur lain yang mesti kita bangun.

Maka Ippho Santosa, seorang creative marketing nasional dalam status facebooknya pernah menyarankan harus ada hari kebangkitan kreatifitas. Usulnya sehari sebelum hari kebangkitan nasional.

Daerah belum berani tanpil beda

Saat ini memang masih banyak daerah yang masih bingung mem’blue print’ daerahnya menjadi spesifik dan unik (brandmark). Masih terkesan masih meniru daerah lainnya. Ini dibuktikan dari studi banding yang terjadi. Kalaupun ada yang spesifik memang sudah berjalan secara turun-temurun. Misalnya kabupaten kuantan singingi di Riau. Menjadikan perkebunan karet adalah primadona masyarakat. Anehnya masyarakat disini tidak sadar bahwa sejak dulu duit mereka datang dari luar negeri dari ekspor karet. hehe

Tapi dari ratusan daerah tersebut, belum ada..ya! daerah yang ingin menjadikan semua warganya berjiwa dagang. Melatih mereka dengan berbagai keterampilan. Memberi mereka berbagai ilmu yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat. Apalagi misalnya membuat kurikulum muatan lokal tentang entreprenuer sejak SD. Tidak adanya penyuluh pertanian dan perkebunan. Apalagi penyuluh home industri atau penyuluh jiwa dagang/entrepreneur dengan mendatangkan motivator buat warganya.

Dulu sempat ada BLK, sekarang nyaris tidak terdengar dengungnya yang diharapkan menghasilkan genius-genius lokal yang siap membanggakan daerah dari hasil kriya, karya, dan sektor jasa dengan keahlian di bidang tertentu. Misalnya elektronik, mode dan sebagainya.

Maka saya pernah mengusulkan ke dewan yang ketika itu sedang menggodok perda pasar di Batam. Yakni agar di atas pasar pemerintah didirikan SMK yang mendidik para pedagang baru, langsung belajar dari pasar. Bila mereka keluar main (play truant) langsung bisa langsung tanpa batas mengamati pasar. Diharapkan inilah sekolah calon pedagang yang formal. Selama ini semua pemain pasar hanya belajar otodidak secara nonformal konvensional di pasar selama ini.

Jadi yang sangat kita harapkan dari pemekaran, pembentukan ibukota baru atau perluasan kota lama yakni berupa pembangunan kawasan pertokoan dan perumahan atau peningkatan status kantor kas dan pembantu menjadi cabang atau wilayah, adalah dapat berkontribusi menambah aset daerah dan mengurangi sifat bawaan pemakan gaji (karyawan). Artinya begini, ‘bukan menciptakan lapangan kerja tapi bagaimana menciptakan pembuat lapangan kerja atau usahawan muda sebanyak-banyaknya.’ Walau itu bermula dari usaha kecil dari berbagai sektor/bidang.

Sektor rill misalnya; berupa ritel, misalnya minimarket, dealer, toserba. Baik ritel kecil atau skala menengah terus digalakkan dengan pemberian insentif, lahan yang bersahabat. Bahkan saya mala menilai membuat pasar itu sama pentingnya dengan membuat sekolah baru setiap tahun.

Demikian juga di sektor jasa seperti lembaga pendidikan, jasa transportasi, provider telekomunikasi, perbankan, klinik, rumah bersalin, perbengkelan dan sebagainya juga sangat dibutuhkan bagi sebuah daerah baru yang mendadak kaya setelah pemekaran. Lagi-lagi peluang!

Apalagi bila diimbangi dengan pembagunan pedesaan yang terencana dan berkesinambungan serta menjadikannya satelit-satelit pertumbuhan yang saling mendukung dengan membangun pasar desa. Pasar desa selain sebagai pendapatan bagi desa, juga mendidik warga desa memahami perdagangan.

Dengan sejahteranya masyarakat desa dapat pula berkontribusi pada lajunya perkembangan ibukota baru kabupaten/kota. Begitu juga jika kab/kota maju akan menggairahkan perekonomian provinsi. Begitu sterusnya secara vertikal. Bukan mala merampas tanah-tanah pasar desa kemudian djadikan aset daerah. Akhirnya masyarakat desa sebagai pemegang otonomi paling ujung tidak bisa berbuat banyak/berkreatifitas memajukan pasar desanya. Ini terjadi pada sebuah kabupaten di Riau.

Daerah harus tetap optimis dan berani membangun daerahnya dengan tetap tidak bertentangan dengan kebijakan pusat. Dan jangan dangkal apalagi salah mengartikan setiap kebijakan pusat sehingga menjadi terkesan lamban bergerak.

Selagi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif di masa krisis global, pengharapan untuk tumbuh akan tetap ada. Selagi negara ini tidak bangkrut, tetap saja kota-kota di daerah akan bisa memutar uang pembagian pusat dan menggulirkannya seperti gunung yang mau pecah ke warganya. Tugas elit daerahlah bagaimana pembagiannya bisa merata-adil.

Untuk itu daerah sangat dituntut kreatifitas dan kegesitan dalam mengelola keuangan daerah. Menata lancar proposal dan tender pembangunannya. Sehingga dana-dana tersebut dapat bergulir tepat waktu sepanjang tahun. Tidak ada kata terundur bulan apalagi tahun.

Sangat disayangkan masih ada daerah yang belum sanggup menghabiskan anggaran APBDnya karena berbagai keterlambatan. Ini sebenarnya sangat merugikan daerah. Bagaimana pusat mau percaya jika peruntukannya juga kadang tidak bersentuhan untuk mensejahterakan masyarakat.

Sekarang saya bertanya, seberapa jauh anda memikirkan peluang-peluang di daerah baru anda? Adakah anda yang menjadi penduduk atau elit lokal mau menjadi penonton saja? Atau berlaku rutinitas hanya semata menurut jutlak dan juknis pusat saja? Jika, ya. Sebaiknya kembalikan saja otonomi daerah kembali ke pusat. Dan sudahkah anda RAPI, eh..punya usaha di daerah kelahiran anda sendiri? Jika belum bergeraklah!

Terakhir, maka kita dapatlah prinsip; Daerah mekar kitapun punya usaha atau Daerah mekar usahapun mekar. Jika belum mekar berarti usaha kita masih stagnan atau mungkin saja alami kemunduran. Ini yang perlu kita review. Jangan sampai didahulukan atau dilangkahi grup usaha dari kota besar lain yang berpengalaman. Right! Terima kasih



Wassalam

Batam, 18 Juli 2009

Oleh Agus Hendri chermin

0 komentar for this post

Posting Komentar

terima kasih