Merantau china, dua utas kata yang menjadi pameo di kalangan orang-orang ‘lihai’ Minang terdahulu menganalisa fenomena ‘merantau tak pulang-pulang,’ ditujukan pada mereka yang sanggup hidup menetap di ranah rantau jika ‘disana’ sudah memberikan kehidupan yang lebih baik.
Merantau china, dua utas kata yang menjadi pameo di kalangan orang-orang ‘lihai’ Minang terdahulu menganalisa fenomena ‘merantau tak pulang-pulang,’ ditujukan pada mereka yang sanggup hidup menetap di ranah rantau jika ‘disana’ sudah memberikan kehidupan yang lebih baik.
Ini berarti, sekali merantau jauh, pantang kembali ke daerah asal. Bukan pula pantang kembali ke kampung halaman jika itu masih memungkinkan. Misalnya seperti mudik ketika lebaran. Tapi pantang untuk hidup berbaur lagi di tanah kelahiran, bukan pula behenti mengabdi pada kampung kelahiran. Pembuktiannya adalah dengan membangun rumah dan usaha di daerah yang didatangi.
Istilah ini tercipta dari menarik pelajaran, betapa moyang warga Indonesia tionghoa rela meninggalkan tiongkok demi mencari tanah baru yang lebih makmur. Kemudian seumurnya tidak akan pernah lagi kembali kesana. Saking jauhnya, bukan lagi dari tanah seberang tapi sudah lintas waktu dan remedian, dari sub tropis ke tropis.
‘’Kasan!, kamu sudah makan?’’ tanyaku ketika masih penjual gorengan dan mengajar mengaji. ‘’Sudah’’ jawabnya. Setelah makan, Kasan kuantar pulang ke rumah jatahnya sebagai penunggu surau. Di samping surau ada kolam kecil yang ditumbuhi sayur kangkung begitu subur. Akupun singgah sebentar dan masuk ke rumahnya. Tak lama kemudian dengan sedikit malu, Kasan mengatakan lapar. Padahal tadi waktu di rumah telah kutawari makan, tapi dia menolak. Astaga! Kasan bukan makan nasi. Tapi makan sayur saja, yang ia rebus dalam satu kuali di pass-kan garam secukupnya.
Pantasan Kasan selama ini pakaiannya bau sekali. Sering saya protes. Dia diam saja tanpa mengelukan keadaanya. Mafhum, Jangankan untuk membeli sabun. Untuk beli beras saja ia mikir. Sayuran yang subur tadilah yang menopang hidupnya di rantau Batam. Dengan perjuangannya, ia bisa kuliah sendiri dan sekarang sudah menjadi PNS. Sedih, ya? Akhirnya berbuah kemenangan.
Mereka yang bermental rantau salah satunya seperti pak Kasan Ini, hanya berlaku untuk dimensi fisik semata, tapi tidak dengan budaya, bahasa, masakan, dan sebagainya. Dimensi spritual, mereka mengatakan Hati, sifat, dan ahklak tetap terikat secara padu dengan budaya tempat dilahirkan.
Walau warga Minang dan Tionghoa sudah bertungkus-lumus dan tidak kenal lagi daerah asal karena beranak-pinak, tetapi tetap menjunjung budaya asal (leluhur). Ini perlu buat mereka (alkulturisasi), agar kekuatan budaya asal tetap eksis dipadukan dengan budaya lokal (asimilasi). Jadilah dua buah kekuatan culture yang unggul, lebih ‘kanan’ (panjang akal).
Sebab itu maka bahasa ibu tetap mereka pertahankan dalam pergaulan satu etnik. Jadilah ini semacam bahasa rahasia mereka yang sangat berguna sewaktu-waktu. Bagi mereka yang tidak mempertahankannya lagi, terlihatlah betapa beda akal mereka. Tak ubahnya seperti penduduk lokal setempat.
Perpindahan (migrasi) etnik ini, paling utama dilatari dengan perdagangan, terutama pedagangan rempah-rempah (hasil bumi). Sebagaimana pedagang-pedagang Arab, Gujarat (India), dan penjajah belanda yang melewati selat Malaka. Dari jalur sutra dan laut inilah perantauan atau petualangan bermula.
Kenapa orang rela dan termotivasi meninggalkan kampung halaman? Spesifiknya mari kita kaji dua warga yang sangat unggul dalam dunia pedagangan, yaitu suku minang (Padang) dan marga tionghoa ini.
Pertama, karena alam yang tidak begitu bersahabat; perbukitan, pegunungan, gersang (tandus), dan gejala alam seperti gempa bumi. Walau daerah yang ditinggalkan ini ada yang subur (misal: alam minangkabau), tapi kesuburannya harus membuktikan kerja keras, membanting tulang, ini yang tidak diinginkan untuk menetap di kampung halaman.
Orang-orang ini lebih cenderung memilih penghidupan dengan tantangan yang berlandaskan kreatifitas. Yakni perdagangan, pengembangan skill, dan sebagian pergi untuk investasi.
Berbeda dengan daerah tetangganya, Riau dan Jambi (tanah melayu). Tanah Sumatra Barat berbukit-bukit, rawan gempa, tsunami, sama dengan tanah di Jepang. Berbukit-bukitnya alam semula jadi membuat mereka tertuntut untuk berpikir melawan alam dan keluar dari alam takambang menuju alam takambang lain yang lebih bersahabat.
Penyebutan alam takambang, ini merupakan kiasan. Orang minang sangat pandai berkias. Contoh, mereka menyebut orang yang tidak laku-laku (oleh pria/cewek), dikiaskan dengan ‘mati pajak.’ Kiasan ini juga yang menjadikan warga minang makin panjang akal dengan berbagai kiasan sekaligus sebagai rahasia, agar tidak dimengerti oleh etnik lain.
Kedua, pengaruh budaya (kasta) kerajaan Sriwijaya, penjajah Belanda, petualang India (gujarat), pedagang Arab, dan keistimewaan yang diberikan pemerintah pusat di zaman orba.
Semasa ke-emasan Sriwijaya, wilayah minangkabau sangat dekat dengan pusat kerajaan (Muara Takus). Yang bisa saja suku minang adalah kumpulan warga pedagang (kasta waisya) dari kerajaan ini pada masa dahulu. Dan memang minangkabau ada hubungannya dengan pembesar kerajaan Sriwijaya. Sampai pada pendirian kerajaan siak dan johor (Riau dan Malaysia) juga tidak terlepas pengaruh kerajaan minangkabau (Pagaruyung). Dengan demikian, itu berarti orang minang sudah menguasai perdagangan selat Malaka sejak dahulu. Itu beriring dengan pembesar-pembesar kerajaan hilir-mudik dan saudagar-saudagar minang yang berlayar ke tanah seberang (Malaysia). Sedangkan warga minang yang cenderung ‘kiri’, tidak mau berperang, tidak punya naluri berdagang pada lari ke hutan. Itulah mereka suku terbelakang yang ada saat ini di Jambi dan Riau.
Sedangkan peranan penjajah, daerah Minangkabau dulunya termasuk daerah pertama yang terbuka sejak zaman penjajahan di Sumatra Tengah dan Utara. Yang mana Belanda dengan VOC adalah kumpulan para toke dagang. Penjajah Belanda menjadikan pusat jajahan penting sejak perang Imam Bonjol. Sebelum mereka ingin merangsek ke Sumatra Utara, Riau, dan Aceh.
Masa penjajahan, kantor-kantor pemerintahan Belanda juga berada disini. Diteruskan masa orla (Bukit Tinggi sebagai ibukota). Sedangkan di masa orba kota Padang dijadikan pusat kantor dagang swasta, pabrik-pabrik hilir (karet), kantor wilayah departemen, BUMN, perum untuk kawasan Sumatra Tengah. Menjadikan daerah ini sangat bergairah dalam perputaran uang negara sebagai pembangkit ekonomi rakyat. Seterusnya diikuti sektor perdagangan dan hasil buminya, terutama padi (palawija) dan sayur mayur.
Sedangkan komoditi rempah-rempah yang tidak ada di daerah ini (Riau dan Jambi)) didatangkan dari daerah sekitar dan kemudian di ekspor melalui pelabuhan tua dan penuh sejarah yaitu Teluk Bayur. Disinilah peranan pedagang India dan tionghoa sebagi penampung dan eksportir. Dan sampai saat ini kampung china dan india masih kita jumpai di kota padang.
Ketiga, telah ada pendahulu yang berhasil di tanah rantau menggunakan skill dan pengetahuan lainnya. Yakni setelah berjaya pada dunia perdagangan di tanah rantau, menghendaki tenaga lokal asal untuk menpertahankan tradisi profesi dan berusaha mengangkat derajat keluarga yang masih tertinggal di kampung halaman. Inilah faktor pendorong perantauan berikutnya. Maka tidak heran dimana-mana di tanah air kita jumpai rumah makan masakan padang. Asal ada pasar dan kaki lima, disitu mereka ada.
Dahulunya, seiring dengan berkembangnya Islam. Peranan orang minangkabau yang berhaji ke tanah Mekkah juga membawa perubahan dan mengenalkan perdagangan dunia arab di minangkabau.
Keempat, pertambahan penduduk dan lebih awal mengenal pendidikan. Bertambahnya penduduk harus menyediakan lahan pertanian baru. Lahan pertanian baru semakin jauh dari pemukiman. Semakin jauh berarti semakin kerja keras. Ini yang membuat malas dan selalu dihindari demi kehidupan yang lebih baik, elegan, dan terkesan profesional karena sejak dahulunya masyarakat minang telah mengenal pendidikan yang baik. Ini dibuktikan dengan dengan sekolah tua seperti ‘Kayu Tanam’.
Begitu juga dengan bangsa China dan India adalah penduduk paling terbanyak di dunia sejak dahulu. Sedangkan Sumatra Barat (Minang) ternyata penduduk nomor tiga paling banyak di indonesia setelah suku Jawa dan Madura.
Bagaimana dengan minoritas. Kontra dari mayoritas dari ledakan penduduk di atas. Minoritas juga kadang membawa persatuan dan kegigihan yang kuat di antara warganya. Inilah kaum tionghoa di Indonesia. Mereka hanya 3% dari jumlah penduduk Indonesia tapi menguasai 70% perekonomian Indonesia. Begitu juga dengan persatuan warga minang yang menjadi minoritas di perantauan. Mereka berusaha tolong-menolong, bahu membahu, dan saling memberi modal. Dan arisan adalah kunci sukses pedagang-pedagang minang di tanah baru.
Kelima, faktor kultur atau budaya. Ada hukum tersirat bahwa lelaki yang tidak merantau tidak jantan. Begitu pula perempuan suku jawa. Bila tidak merantau tidak akan laku, karena terkesan kurang ulet dan tidak memperhatikan keluarga.
Lamanya penjajahan Belanda bercokol di daerah ini juga mempengaruhi budaya dan kebiasaan mereka mencari contoh teladan. Maka ditirulah oleh etnik ini jika merantau dan mendapatkan tanah jajahan (baca: daerah baru untuk berdagang), ‘’Dimana tanah dipijak, disitulah langit dijunjung.’’ Pribahasa ini membuat mereka rela tidak pulang kampung dan jadi pelecut untuk berbaur tanpa cela dengan penduduk lokal (asli). Tanah dimana rejeki mereka ada, berbaur, dan menghargai budaya setempat.
Maka tidak kita pungkiri pula banyak budaya kelakuan berpikir kita cenderung ke ‘belandaan’ zaman dahulu. Lihat VOC yang bankrut karena ketidakbecusan mengurus. Begitu pula dapat kita samakan dengan BUMN kita yang selalu merugi dan meminta suntikan modal dari pemerintah.
Begitu juga dengan kebiasaan masyarakat asal minang seperti sifat gotong-royong, paguyuban (persatuan), mengedepankan keterampilan (skill) bagi generasinya sebelum merantau. Menjunjung tinggi persaudaraan, mengangkat derajat anak-kemenakan yang egaliter, sanak saudara dekat dan jauh. Inilah budaya yang memberikan value luar biasa bagi kemajuan suatu kaum berlandaskan Syarak dan Kitabullah.
Begitu juga akar budaya padang kenapa harus lelaki yang lebih utama merantau. Itu karena segala warisan orang tua jatuh pada perempuan. Lelaki tidak berhak akan harta warisan. Jadilah laki-laki jadi ‘pejantan tangguh’ pencari harta utama yang juga nanti diwariskan. demikian juga dengan kultus marga tionghoa yang mengedepankan anak laki-laki.
Faktor lainnya dari budaya etnik minang adalah, adanya kebiasaan mencari bapak angkat bila pergi merantau ke tanah seberang, kampung orang, kota lain, atau nama yang lain. Melalui pengakuan adat yang resmi ini, terasa begitu mudah nantinya untuk memulai dan menggelar cita-cita di rantau orang karena telah ada bapak dan saudara angkat yang mendukung, sekurang-kurangnya dukungan moral.
Mari kita bandingkan pula dengan Bangsa Cina dan Jepang yang kreatif. Ternyata budaya tulisan kanji mereka yang syarat simbol juga mempegaruhi panjang akal mereka (baca: kreatif). yang mana bilamana mereka menulis huruf kanji, mereka ibaratnya melukis. Melukis agar menjadi huruf dan kalimat yang cantik dan indah. Dan melukis adalah daya kreatifitas buah imajinatif dan kiasan.
Demikian pula dengan boom-nya musik rekaman daerah minang (Tanama record) sejak tahun 80an. Beragam syair tentang anak rantau dan lagu-lagu ratapan di kampung halaman tanpa dinyana telah membangkitkan kaum ini pada perubahan yang terus gemilang.
Sekaligus menjadi support, pelajaran, dan perangsang bagi anak-kemenakan, kawula muda generasi berikutnya agar mencari perubahan di negeri rantau. Seperti yang pernah dilakukan Malin Kundang, sukses di rantau orang. Sayang ia anak durhaka, tapi tidak warga minang namanya kalau tidak mencontoh yang baik dan membuang yang negatifnya.
Keenam. Adanya skill sederhana (keterampilan) yang selalu disarankan orang tua buat anak-anaknya sebelum merantau. Umumnya skill itu bisa dipelajari saat di kampung. Seperti bisa gunting rambut, bisa jahit baju, pandai memasak, pandai emas. Dan tetap paling utama adalah pandai berjiwa dagang. Kalau sekarang tentu ditambah mesti menyandang status tamat ‘wajib belajar’ dahulu, baru merantau.
Bila perlu juga pelajari keterampilan lain untuk hidup, misal jadi sopir, bengkel elektronik dan sebagainya. Semua skill sederhana ataupun rumit itu harus dipadukan dengan jiwa dagang yang juga diturunkan secara genetik dan teladan dari generasi ke generasi.
Sebuah cerita di pasar loket AKAP kota Padang, ‘’Uda becak, tolong nanti kalau ada nanti penjual pinang dari kampung di loket AKAP. Sebisamu rayu dan arahkan ke saya’’ begitu kata salah seorang pedagang pengumpul berdarah india (kumar). Si uda becak pun meng-iyakan. Eh, datang pula tawaran dari koko, ‘’Uda, jika ada pinang datang di loket tolong juga bawa kesini, ya. Nanti kukasih lebihlah,’’ uda becak pun meng-iyakan.
Si uda jadi ragu, dan kebetulan hari ini ia dapat merayu pedagang kecil dari kota lain membawa pinang. Apakah mau dibawa ke Kumar atau Koko? Itu salah satu trik (panjang akal) pengumpul agar bisa dapatkan barang untuk memenuhi kuota ekspor mereka. Akhirnya apa yang terjadi? Mala si uda becak di pelasah oleh si kumar. Ia yang duluan pesan sama si uda, eh ke tempat koko diantarnya.
Begitulah warga Tionghoa, India, dan Padang sang pedagang perantau babega. Sejak kecil ditanamkan jiwa berdagang. Mengajak anak-anak mereka ikut bila melakukan kreatifitas ber-skill dan aktifitas perdagangan. Tak mengherankan kadang peristiwa di atas berlaku dan tidak patut ditiru.
Dimana dan dalam keadaan apapun keadaan serta kesempatan mereka bisa menjadikan sebuah pelajaran dan kemudian menjadi peluang. Menarik manfaat dari apa yang terjadi dan yang akan terjadi. Baik itu dari yang pernah buruk (penjajah/pendatang). Mengabaikan yang negatif, dan mengambil apa yang positif dari keadaan paling kini.
Selagi masih ada alam dan lingkungan baru berkembang (takambang), disanalah penghidupan baru dari modifikasi kemampuan mereka yang lama bisa berkembang pula (masakan padang).
Kadang secara jujur mereka berani mengatakan, ‘’Biarkan saja dahulu daerah transmigrasi atau hutan jadi pemukiman atau sebuah pemekaran wilayah menjadi kabupaten atau provinsi. Bila sudah ramai dan ada ibukota (pasar), maka kita akan kesana.’’ Dan akal mereka akan terus sulit dikalahkan, kecuali oleh akal yang mampu mendahului 32 kali sesudahnya. Ya, seperti ketika otak sedang berpikir main caturlah.
Terakhir, lalu apa yang membuat mereka berhasil di rantau; pertama, tidak ada rasa malu lagi menjalani apa saja jenis aktifitas. Walau rendah dipandang orang setempat, asal tidak dipandang oleh orang kampung sendiri.
Kedua, mereka memiliki prinsip hidup yang dipegang teguh dan dilakoni. Contoh, mesti menjalani sutau pekerjaan minimal 2 tahun. Mesti tahan sementara menanggung malu, cacian, dan hinaan. Tidak melawan sama toke atau majikan. Sungguh-sungguh bekerja walau tidak dipandang bos.
Misal lain, ‘’Saya harus mempertahankan kejujuran dan memelihara kepercayaan.’’ ‘’Saya percaya orang yang berilmu itu akan diangkat derajatnya oleh Tuhan.’’ ‘’Hidup ini mesti punya keterampilan, dengan keterampilan itulah mencari uang, dan saya mesti mencarinya.’’ ‘’Saya harus memiliki target.’’
Bagaimana dengan prinsip hidup anda? Silahkan anda mencari, meniru, dan membuat sendiri prinsip hidup anda, kemudian menjalani prinsip itu dengan keyakinan tiada tanding.
Dan perlu juga saya tekankan disini. Walau ilmu perdagangan mereka begitu top dengan pengalaman menurun, jaringan kuat, yang aplikatif sejak dari kecil, remaja hingga dewasa. Bukan berarti tidak bisa dikalahkan, disalip, atau didahului. Masih ada peluang untuk kita, selagi masih punya niat yang sungguh untuk berjiwa dagang dan memasuki dunia bisnis mereka.
Yang lain perlu diingat adalah. Daerah mana tujuan kita merantau juga akan membentuk karakter kita seperti apa nantinya. Semakin nyeleneh, keras atau baik budaya setempat, semakin aneh atau baik pula kita mengikuti aturan mereka. Tapi kemanapun orang Padang merantau minumannya tetap ‘teh telor’ bagi warga minang dan domino adalah olah otak mereka kalah jenuh. Hehe
Batam, 17 Juni 2009
Oleh Agus Hendri Chermin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar for this post
betul tu apa yg pakcik dah sebut kat atas(sorry bru visit blognyeee...hehehhe)
Terima Kasih Captain atas kunjungannya. wslm