a.jpg)
Saya pun semakin memahami kekuatan inti bagaimana kita menyebut warga china di Indonesia dengan sebutan tionghoa. Walau selama ini sudah sadar dari membaca, berkehendak warga ini lebih suka disebut tionghoa. Maka saya pun ketika berinteraksi dengan mereka, bila harus terpaksa mengatakan kata china dengan serta merta mulut ini menukarnya dengan kata tionghoa. Lagi pula ada perasaan enak bila memulai menghargai orang lain. Walau kadang mereka lebih suka memanggil kamu saja ke saya. Saya tetap memanggilnya dengan sebutan Bos.
Semakin menggugah hati yang telah mafum, tulisan Dahlan Iskan tentang kebebasan ala demokrasi yang telah dimiliki warga tionghoa (Batam Pos, 27 Januari 2009)
Saya pun semakin memahami kekuatan inti bagaimana kita menyebut warga china di Indonesia dengan sebutan tionghoa. Walau selama ini sudah sadar dari membaca, berkehendak warga ini lebih suka disebut tionghoa. Maka saya pun ketika berinteraksi dengan mereka, bila harus terpaksa mengatakan kata china dengan serta merta mulut ini menukarnya dengan kata tionghoa. Lagi pula ada perasaan enak bila memulai menghargai orang lain. Walau kadang mereka lebih suka memanggil kamu saja ke saya. Saya tetap memanggilnya dengan sebutan Bos.
Membaca tentang kekuatan ajaran Islam intinya mengatakan’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’ juga bukan dengan gelar atau sebutan palsu lainnya.
Sebenarnya hati seorang manusia sudah otomatis mengatakan sesuatu hal yang tabu atau yang akan berakibat tidak menyenangkan bagi orang lain, itulah norma kekuatan batiniah alami dituntun ajaran yang hakiki. Apalagi seseorang itu melatih dirinya untuk selalu mengukur keadaan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sebelum orang merasakan dia sendiri telah merasakan sebelum ucapannya terucap. Tapi itu tidak bisa kita jadikan kekuatan untuk melegalkanya secara individu dan lokal. Sebelum adanya kesepakatan sosial atau kebijakan tertentu yang mengikat seperti pencabutan SKBRI itu, misalnya.
Lihatlah plang nama yang kita baca di beberapa tempat di kota ini seperti ‘’ Rumah Duka Warga Tionghoa’’ ini telah membuktikan bahwa mereka lebih suka disebut warga tionghoa dari pada sebutan china.
Juga ada sebuah sinetron terbaru di salah satu televisi swasta, jangan sebut aku cina. Ini membuktikan bahwa sebutan yang baik dan kejadian yang mengikutinya telah mendapat kajian sosial, sekarang telah diungkapkan lewat karya seni. Dan kita yakin sinetron ini akan mengangkat hidup bersama yang saling menyenangkan.
Bahkan dalam hal penyebutan bukan berkaitan dengan warga ini saja. Mari kita lihat perubahan lain di negara ini menyangkut penyebutan yang menyenangkan. Dulu sebutan kota Ujungpandang yang tidak begitu asyik di hati warga Makassar. Mereka pun menuntut agar Ujungpandang berganti dengan sebutan kejayaan masa lalu yaitu Makassar.
Tidak usah jauh-jauh, di Kepri ini kita telah menukar nama sebuah kabupaten menjadi kabupaten Bintan, sesuai dengan cerita sejarah membanggakan yang pernah terjadi. Sejalan dengan penyesuaian perubahan dan keinginan masyarakat yang bangga akan sejarahnya.
Begitu pula sebutan dengan orang Irian Jaya, hati mereka akan bangga bila mereka disebut warga Papua. Itu semua kita ubah dalam hakiki penyebutan yang saling bisa diterima. sekaligus beriring menelorkan pejuang yang mengangkat persamaan penyebutan yang menyenangkan itu. Dengan penyebutan baru ini, harkat dan martabat mereka terasa terangkat.
Negara baru merdeka pun tidak ketinggalan menambahkan leste di ujung nama negaranya, yang biasanya kita sebut timor-timor semasa integrasi dengan Indonesia. Betapa penyebutan yang gres bukan saja dimulai dari sosok pribadi, golongan, atau yang disebut suatu kaum saja. Kekuatan kebersamaan sampai pada sebuah negara sekalipun. Bahkan ketika piala dunia sepakbola, kita pun saling mendukung antar benua, mana sih yang wakil Asia?
Lalu bagaimana sikap dan sebutan warga tionghoa terhadap warga lain yang juga beraneka kebiasaan dan sikap di indonesia? Umpamanya ketika mereka berbaur dalam kaumnya atau mengatakan yang sesungguhnya kepada anak-anak mereka? Sayang sekali kita belum pernah berdialog tentang hal ini secara terbuka. Saling tertutup dan memutup diri terasa ada yang membatasi seperti tembok berlin dulu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita lihat saja contoh koran yang terbit di Malaysia saja. Menurut kliping KBRI di Malaysia telah menyebutkan bagaimana 60 persen (Tribun Batam 28 Jan 09) hal negatif tentang Indonesia lebih dikedepankan dalam berita. Sisanya 40 persen hanya berupa kesepakatan kerjasama yang saling menguntungkan dan berita olahraga. Sangat bertolak belakang akan media kita yang selalu membanggakan kemajuan negara ini dengan melemahkan kemampuan diri sendiri seolah tidak percaya diri lagi.
Padahal, antara dua negara banyak persamaan dalam kultur budaya. Tapi mereka tetap memandang seolah-olah kebanyakan manusia Indonesia ya, seperti TKI yang adakalanya terdapat cerita yang menyedihkan itu. Atau seperti berita kesengsaraan lainnya warga terpinggirkan di negara ini.
Ini saatnya kita memahami bagaimana berbagai penyebutan dan pemberian berita yang tidak baik itu bila diwariskan turun temurun akan menjadi akar menjalari benih antipati. Yang pada akhirnya akan melahirkan opini publik yang keliru berakibat saling memojokan. Atau barangkali kedepan akan menjadi wacana alasan untuk saling menyerang, saling melemahkan, dan menghancurkan hanya karena atas dasar penyebutan dan penyampaian yang buruk apalagi sampai berlebihan dari kenyataan yang ada.
Keadaan ini patut dikuatirkan, sebab kita bisa saja terjebak dalam konflik internal berkepanjangan seperti Israel-palestina atau keadaan kedua Korea. Bisa juga seperti suku Hutu dan Tutsi di Rwanda, menuduh saling melenyapkan di jantung Afrika sana. Tidak tahu siapa yang memulai. Yang jelas masing-masing bersekukuh mempertahankan eksistensi mereka.
Dengan demikian sekarang saatnya kita tinggalkan sifat berlaku eksklusif dalam satu bauran yang sulit dimasuki. Yang berakibat makin tertutupnya komunikasi dan terkesan makin melebar karena diturunkan pada generasi tentang suatu keburukan.
Bukankah dalam ajaran Islam juga melarang membuka aib (keburukan) orang lain. Apalagi dengan merendahkan suatu kaum yang dimulai dari memberi persepsi yang kebenarannya belum tentu untuk semua pribadi suatu kaum. Patutkah kita biarkan penyebutan dan membuka aib itu yang seolah saling merendahkan? Meski kita tinggalkan dimulai dari pergaulan antar individu hingga ke pergaulan antar negara sekalipun, berbaur tanpa memandang perbedaan secara inklusif.
Dalam tatanan Kota Batam yang berkembang majemuk, Sikap saling menyebut dan tidak membuka keburukan Ini sangat diperlukan bagi Kota Batam sebagai kota yang heterogen. Apalagi dirasa itu keburukan yang dapat mengundang konflik kecemburuan sosial.
Di kota ini, kita menemukan semua suku di Indonesia. Mereka ada yang sudah generasi maju dengan berpendidikan tinggi dan kemapanan sosial lainnya, sampai pada kelas sosial akar rumput.
Acap kali pula kita menyebut beberapa istilah seperti orang kota (mainland), orang kecil, pendatang, orang rantau, warga keturunan, anak jati bla-bla, orang pulau (hinterland), orang sampan (suku laut). Penyebutan itu tentu perlu kita atur penempatan yang baik saat mulut terucap. Hal demikian bertujuan untuk saling menjaga hati berujung kekompakan. Bila perlu kita carikan konsep yang baik agar penyebutannya makin baik di kala yang baik. Sudahkah kita melakukannya? Kuatirkah kita akan akibat dari penyebutan itu di masa yang akan datang?
Kita hayati satu contoh dari penyebutan di atas yaitu ‘pendatang’. Bukankah Amerika itu bisa maju dan adikuasa lebih dahulu sampai 100 tahun dari negara kita karena para pendatang ke benua ini ratusan tahun yang lalu. Malahan negara ini sangat suka akan pendatang terutama pendatang yang berupa brain drain. Akankah kita memandang suku laut itu terbelakang dan kuno selamanya. Sadarkah kita betapa cintanya dengan laut mereka dengan hanya memakai alat tangkap tanpa merusak alam? Ternyata bersifat modern dan konvensional sama-sama mendukung kebaikan bersama.
Cita-cita menjadikan Batam sebagai bandar dunia yang madani dapat kita mulai dari sini. Yaitu saling menghargai dalam konsep satu rasa dalam perbedaan yang saling mendukung. Seperti konsep madani pemerintahan Nabi di Madinah yang melindungi segenap warga yang juga heterogen kala itu.
Mari kita mulai saling mempercayai dan melindungi, tidak menonjolkan kelebihan eksistensi, saling menjaga penyebutan dan penyampaian yang benar serta tidak saling merendahkan yang sudah ‘’rendah’’. Tapi bagaimana mengangkat yang ‘‘rendah itu’’ menjadi bermartabat. Kemudian mari kita berbaur secara inklusif. Dengan demikian kejayaan Kota Batam dapat kita capai dan tentunya kita nikmati bersama tanpa ada yang merasa termarjinalkan.
Batam, 29 Januari 2009
By : AGUS HENDRI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar for this post