Keadaban Antar Sesama Pedagang

By Golfing Enthusiast on 19.10

Filed Under:

20 Tahun si nyonya tionghoa dan suaminya eksis di kota ini. Di tahun ini tepat tanggal 21 Maret deklarasi kepindahan ia bilang padaku. ‘’Pak, saya mau pindah ke kota. Anak mengajak tinggal disana dan buka usaha baru di kantin universitas.’’ Begitu ia menyapaku beberapa hari sebelum kepindahannya.

Siapa nyonya ini?


20 Tahun si nyonya tionghoa dan suaminya eksis di kota ini. Di tahun ini tepat tanggal 21 Maret deklarasi kepindahan ia bilang padaku. ‘’Pak, saya mau pindah ke kota. Anak mengajak tinggal disana dan buka usaha baru di kantin universitas.’’ Begitu ia menyapaku beberapa hari sebelum kepindahannya.

Hati saya tertegun karena selalu belanja dengannya. Walau toko kelontongnya makin menipis, karena berdekatan, selalu saya usahakan belanja yang terdekat lebih dahulu dan barang sesuai kebutuhan yang ada.

Barang-barang diperlukan dikemas. Pompong disewa, karena ia akan pindah kota sekaligus pindah pulau. Yang agak repot dibawa seperti tanaman guava dan jambu airnya ia hibahkan pada seorang saudaranya.

Kecuali tanaman depan samping kiri tokonya. Tamanan ini seperti penyejuk bagi dirinya. Tapi tidak bagi yang lain. Hal inilah salah satu nanti yang akan disorot dalam tulisan ini.

Siapa nyonya ini? Ia pemain lama dan berpengalaman di kota tua ini. Ia pedagang yang sempat merasakan kejayaan. Dimasa keemasannya, terasa duit mengalir tiada henti dan terasa sulit dibendung. Begitulah kalau rezeki saatnya datang. ‘’Berapa sen lah, pak.’’ Katanya suatu waktu akan urung niatnya memperbaiki pelantar di batalkan.

Dua toko pun ia miliki selama berjuang. Kenikmatan telah dirasakan dengan kebiasaan yang sama dari tahun ke tahun.

Delapan tahun belakangan, ia harus bisa pula memperjuangkan diri dari kehancuran. Beberapa pesaing, terutama toko tetangga sebelahnya ia buat tersingkir dan mati kutu dari triknya yang jitu.

Pesaing pertama telah lebih dahulu ia buat pindah kota lain. Pesaing kedua tak lama kemudian menyingkir ke sudut yang agak lebih jauh. Walau menyewa, mereka rela pindah demi kedamaian dari si nyonya.

Apa yang ia perbuat? Mudah saja, ia cukup menanam tanaman hias di batas tokonya dengan tetangga. Kebetulan ia diuntungkan dengan deretan paling mendekati jalan utama. Tanaman itu langsung membesar karena sebelumnya lebih dahulu hidup dalam pot.

Bisakah sebuah tanaman membangkrutkan orang? Ntahlah, yang jelas tanaman itu telah menutupi adanya keberadaan toko sebelah. Tanaman itu telah membatasi jarak pandang dan penglihatan pengunjung ke pasar. Tanaman itu juga telah berhasil mebuat gusar hati tetangganya. Membuat stress tetangganya terhalang memandang jalan utama.

Lalu bagaimana akhirnya? Si tetangga pun pindah seperti yang sudah disebut di atas. Menangkah si nyonya. Kalau dengan tetangga, betul ia memang. Tapi tidak demikian jadinya.

Kenapa? Menghilangnya dua tetangga ternyata membuat jalan deretan tokonya juga menjadi sepi dilalui pengunjung pasar. Sepinya pejalan/ibu-ibu yang ke pasar menjadikan tokonya yang tunggal di deretan tersebut juga ikut sepi bahkan terkesan tidak dilirik untuk mengunjungi tokonya.

Sejak saat itu iapun mengeluh. Pengunjung pasar telah mengalihkan jalan mereka ke jalan yang lain tanpa diduga sebelumnya.

Rupanya inilah fair play dalam persaingan usaha yang sehat. Rupanya tetangga bukan saja saingan. Tapi dalam hal tertentu juga tanpa disadari juga merupakan mitra yang sangat diperlukan. Mitra yang tanpa sengaja mendongkrak nilai kita dimata pelanggan.

Dengan yang terjadi, pelanggan/pengunjung makin tau dan pintar memilih kehatian untuk menilai kejadian tempat mereka berbelanja. Apalagi selama ini tentu saja antar mereka saling mendengungkan keburukan.

Kita sebut saja kejadian ini bermula dari keadaban yang kurang arif antar sesama pedagang di mata pelanggan. Yang pada akhirnya merugikan si ‘penyulut api’ juga yang terbuai apinya penyulut.

Keadaban ini juga diperlukan dalam kasus-kasus yang lain di antara sesama pedagang. Perlu kesadaran dini agar keadaban itu untuk keberlangsungan usaha masing-masing.

Kejadian ini sama halnya dengan ‘’menepuk air di dulang, terpencik ke mata sendiri.’’

Hari ke hari maka sampailah gilirannya ia yang harus pindah. Apa yang terjadi, itulah kenyataan yang mengharuskan ia meniru pendahulunya yang telah pindah.

Kenapa pula harus meniru pindah? Singkatnya itulah tuntutan hari-hari ke depan. Jika kehidupan yang panjang itu masih ada, tentu perlu kebutuhan yang harus dipenuhi. Memenuhi kebutuhan baru di tempat yang baru. Iapun mesti ‘hijrah’’

Batam, 23 Maret 2009

Oleh Agus Hendri

0 komentar for this post

Posting Komentar

terima kasih