Guru yang mengajar terpelajar dan kreatif (pundit) tidak merasa risih bila ia didekati si murid, malahan senang dan kebanggaan tersendiri buatnya. Sekarang bagaimana cara mendekat saja. ‘Berlaku’ dalam etika, rasa hormat, dan melewati ‘sontak' lain dengan pendekatan yang jitu.
Guru yang mengajar terpelajar dan kreatif (pundit) tidak merasa risih bila ia didekati si murid, malahan senang dan kebanggaan tersendiri buatnya. Sekarang bagaimana cara mendekat saja. ‘Berlaku’ dalam etika, rasa hormat, dan melewati ‘sontak' lain dengan pendekatan yang jitu.
Ia mau saja berteman dan terbuka dengan kita. Bahkan bisa tertawa dan sedih bersama. Yang penting caranya omong dan tanduk kita berlalu-lalang, dan tentu saja kita harus banyak mengalah terutama dalam nasehatnya yang mungkin saja tidak terjangkau atau menyinggung perasaan kita. Kemudian tidak keras kepala dihadapannya. Tidak pula harus merunduk-runduk berpapas cium tangan bermulia-mulia, biasa-biasa sajalah tapi keren, begitu.
Berbagai sikap pun mesti kita kuasai agar bisa menyentuh hatinya. Bagaimana berbicara yang pantas, duduk yang pantas, menyimak pembicaraannya, menguasai mata kita, sampai pada alunan suara kita ketika bertanya-jawab. Misal: tidak memotong pembicaraan sampai dia selesai berbicara, tidak merasa lebih tahu darinya seandaipun kita sudah tau. Ini penting untuk mengimbangi apa yang kita lebih banyak yang belum tau darinya, yang belum terbuka darinya, dan logika lain keberhasilannya. Bila kita ngotot dan seakan mengatakan cepat faham saja, sang pundit kadang bisa tersinggung. Kemudian malas untuk bicara lagi. Bila uda malas, malas pula ilmu lainnya mengalir pada kita.
Jarang dari kita berhasil mendekati atau ‘mencuri hati’ sang pundit, karena tidak memahami apa yang saya sebutkan di atas. Baik itu terhadap guru kita semasa sekolah, orang yang kita anggap guru, atau guru nonformal lainnya apalagi telah mempengaruhi jalan kesuksesan kita.
Bermanik-manik (review) kepada orang dulu-dulu. Guru sangat dihormati. Jangankan untuk bertemu dan bertatap muka langsung dengannya. Bertemu di jalan saja kalau dapat menghindar, ya menghindar dulu. Begitulah tinggi hormatnya akan wibawa sosok suhu kala itu.
Sekarang sosok guru sudah mulai bisa diajak bersahabat. Bahkan saya sendiri pernah tiga kali tinggal serumah dengan sosok guru di sekolah berbeda. Memang pada mulanya banyak rasa segannya. Tapi setelah dijalani ternyata bergaul dengan guru banyak manfaatnya. Setidaknya kita bisa belajar dari jalan hidupnya. Beberapa nasehat baik, pengalaman, kebijaksanaanya, dan ‘jam terbang’ kisah hidupnya, sangat baik disimak untuk melecut diri kita dalam umur labil mencari contoh.
Lalu bagaimana dengan anak sekarang? Tetap banyak yang menjaga jarak dengan guru-gurunya. Bahkan penghormatan pada guru tergerus makin kurang saja. Padahal bila kita simak, yang selalu dekat dengan guru, banyak yang telah berhasil. Bisa saja karena rasa hormat kita selama ini, berbuah doa ikhlas sang guru. Sebaliknya yang sering melawan guru apalagi orang tua, banyak hatinya telah menjadi batu, sama dengan onggokan batu karang legenda Si Malin Kundang. Mohon kita maafkan mereka yang telah menjadi korban dari perlawanan ini.
Dalam berbagai cara pendekatan terhadap guru, ada pula di antara murid, selalu berlebih tingkah dihadapan guru. Jadilah dia yang paling pandai mengambil ‘muka’ oleh teman yang tidak suka, padahal itulah kelebihan masing-masing pribadi bagaimana bersikap yang sesungguhnya terhadap sang guru. Terpatok pada hati cemburu, kita rasa guru tetap dalam kebijakan tersendiri menilai mana murid yang tulus dan yang tidak. Jadi tidak seperlunya ambil muka ini menjadi kegalauan kita. Begitulah cara yang ia bisa agar ia confindent, kita fahami saja.
Kita simak sebuah kejadian, larut malam di sebuah bengkel. ‘’Tolong antar saya pulang’’ kata seorang majikan sekaligus guru ilmu elektronik pada anak asuhannya. Si murid yang satu langsung paham dan mengantar gurunya pulang. ‘’heran, guru kok penakut’’ kata murid yang satunya. Padahal sang guru hanya menguji sampai dimana kesetiaan dari kedua muridnya. Si murid yang satu tidak faham akan hal ini.
Coba kita renungi, ‘’Orang yang berhati ‘kanan’ (baik) juga akan menemukan orang-orang yang berjiwa kanan dan bermental ‘kanan’.’’ Tentu saja, dijauhi orang-orang berpicik ‘kiri.’ Lalu dicuekin oleh yang berotak standar atau di bawah rata-rata. Lalu tidak masuk akal oleh mereka yang biasa hidup normal meniru apa yang ada sebelumnya. Mereka membenci terobosan yang tidak pernah dibuat orang sebelumnya. Bahkan rela mengatakan ‘gila’ pada orang tanpil beda tersebut. Jadilah ia orang lama yang berlaku apa adanya, tidak kekinian lagi, anti terbarukan, mengesankan orang bertindak mengada-ada.
Karena itu petuah mengingatkan, dekatilah orang-orang mesjid, berkawanlah dengan orang baik-baik. Bertemanlah pada orang yang di atas kemampuan dari kita. Yang sedikit kontra, mengajak berteman kepada yang lebih tua dari kita atau barangkali sebaliknya pada yang lebih muda.
Diharapkan, bila kita berteman dengan orang-baik dan berlebih kemampuan, lebih tua, atau barangkali kemampuan berimbang (proportional ability). Diharapkan kita bisa belajar dan mengikuti kebaikannya. Tak salahkan! orang tua kita selalu melarang kita berteman dengan anak-anak nakal.
Sebenarnya, bisa saja kita belajar dari orang yang punya kemampuan pas-pasan. Biasanya orang yang berkemampuan pas-pasan, lebih antusias untuk mengajari kita ilmu-ilmu dasar (sebagai pemula), untuk tingkat lanjut, kita carilah guru lagi atau belajar secara otodidak untuk pengembangan ilmu yang ada. Inilah pundit heran kita yang pertama dalam tulisan ini, ‘’Belajar dari yang belum bisa atau mahir.’’
Mala yang sering tidak masuk akal oleh sebagian kita adalah berguru kepada yang lebih muda dari kita. Kenapa harus malu dan segan, toh yang lebih muda dari kita juga biasanya mengajari kita lebih ikhlas dan antusias. Sedikit lebih hormat dan mau memahami kesulitan kita. Inilah heran pundit kedua kita, ‘’Belajar dari yang muda.’’
Wah, ada-ada saja ya. Ia tapi ini bukan mengada-ngada. Tapi telah diadakan dengan hasil menakjubkan oleh sebagian orang, termasuk saya.
Selain sosok teladan yang harus ada, juga diiringi terhadap tontonan, bacaan, ataupun dendang lagu-lagu yang kita dengarkan. Sebaiknya tentu yang bermuatan positif semua. Agar kelak temperamen dan karakter kita termotivasi lalu terukir menjadi pola orang baik-baik pula. Sebaliknya bacaan jelek, kebanyakan menonton sinetron dewasa, dan lagu-lagu yang berisi kemiringan tendensi zaman yang negatif, sebaiknya dihindari. Kalau pun terbaca dan tertonton dijadikan sebuah pembelajaran diri agar tidak menipu diri apalagi diri tertipu.
Pundit yang kita anggap dalam level di atas kita, walau tidak selamanya. Bisa dijadikan peletak dasar untuk merengkuh pada apa yang kita citakan untuk masa depan. Selain itu, guru bisa pula sebagai pendoa yang baik disaat kita sudah terasa sangat dekat dengannya, ini yang kita harapkan.
Bila kita sudah berpisah dengannya, kadang dia yang menanyakan kabar kita. Dia akan merasa lunglai bila mengetahui kita belum berhasil. Lihat, adakalanya sibuk mengenalkan sejawat yang ia kenal agar kita bisa menapak keberhasilan pada orang yang dikenalkannya. Apakah anda pernah merasakannya, kalau saya sudah? Kemana saya melanglang buana selalu ia tahu, heran! Inilah heran ketiga kita dari sang guru, yakni ‘Selalu mengiringi langkah kita agar berhasil.’
Lalu setelah berhasil, adakah kita ingat guru-guru kita? Seperti presiden kita SBY yang mengundang guru SD nya bertatap muka dalam hari pendidikan nasional. Dibalik kelalaian kita yang banyak melupakan jasa guru, ada juga teman facebook saya, dia guru daripada guru calon dokter yang mengunjungi sekolah SD nya setelah ia sukses. Ia berbagi cerita dan bisa memberikan kenangan manis dengan mengajak teman seangkatannya berkunjung ke bekas sekolahnya.
Senyum ditimpa bulu merinding, sungguh! Guru merasa bahagia bila anak-anak didiknya berhasil apalagi mau mencarinya dikemudian hari. Walau tidak memberi apa-apa, silahturahmi dan mengatakan keadaan kita yang sudah sukses saja, sungguh berarti buatnya. Inilah heran keempat dari sang pundit, ‘tidak mengharapkan balas jasa dari apa yang telah diperbuatnya.’
Agar lebih pas dalam hal kita mencari guru, rupanya tidak saja untuk yang masih di bangku sekolah. Bagi kita yang sudah tamat, atau sudah berumur tapi masih kepengen dapat ilmu dan keterampilan, tiada salahnya ! Umur dan waktu tidak cukup menjadi alasan untuk kita menjalani perguruan. Secara langsung maupun tidak langsung, formal atau nonformal. Tuntutlah ilmu sampai kita memang tak mampu lagi (long life education).
Mari kita konkritkan dengan contoh. Misalnya kita ingin mendekati pemilik bengkel elektronik. Ia bisa perbaiki komputer, hape, TV dan sebagainya. Kita hobby, ingin pandai dan menguasai ilmu ini berniat belajar padanya. Lalu timbul celetuk hati kita, ‘’Lalu apa mau ia menerima kita bekerja dengannya. Saya aja ‘begini’, merasa orang ‘bawah’, merasa orang yang tidak pantas mendekatinya. Dan sang pundit serasa tak mau didekati’’
Sedangkan sang pundit berkata, ‘’Kenapa ya tidak ada yang berminat untuk belajar dengan serius denganku. Terkesan tidak ada yang tertarik dan berusaha mendekat.’’ Wah, dua hal yang bertolak belakang. Ternyata bukan saja kita yang merasa heran dan galau agar bisa mendekat, sang pundit pun bertanya-tanya dalam hati tentang kita yang tidak mau mendekat untuk ilmunya. So, apalagi sekarang kita sudah tahu, ayo action!
Setelah kita tahu beberapa rahasia dan cara melakukan pendekatan pada sang pundit. Anda pun mencobanya. Ternyata ia mau dengan senang hati menerima anda bekerja sekaligus sebagai murid. Tapi sayangnya dia tidak menjanjikan gaji. Tapi hanya menjanjikan ilmu yang ada padanya dijanjikan mengalir pada anda. Apakah anda mau tanpa digaji? Atau barangkali anda membayar dari ilmu-ilmu yang akan diturunkan seperti kursus, pelatihan, workshop, seminar, atau privat khusus? Pilih yang mana? Jika anda milih mau bekerja sambil belajar tanpa di gaji inilah awal kemenangan anda.
Selanjutanya yuk, kita intip bagaimana sih kebiasaan mereka yang mau kita jadikan guru yang punya kemampuan plus itu. Agar kita tetap semangat dan sabar menjalani waktu menuntut ilmunya.
Mulailah dengan tidak ber’syak macam-macam dulu terhadap mereka, sebelum kita berbuat macam-macam untuk mendekatinya. Jelas mau dong. Mereka orang kanan, telah dilebihkan kemampuan pada level tinggi, dan kemampuan itu juga datang dari orang lain. biasanya mereka sangat suka jadi penasehat tanpa bayar. Bahkan yang aneh nih, bila kita sudah terasa dekat. ‘’Bila ada ilmu baru yang ia ketahui, tidak terasa afdol baginya jika tidak memberi tahu kita,’’ inilah heran kelima kita dari sang pundit. Jaringan hati guru dan murid yang aneh bila sudah akrab.
Sekarang setelah merasa sedikit dekat, Sadari dulu betapa mendekati orang lain tidak selalu langsung akrab seperti kita dengan orang tua. Biasanya orang yang baru kita kenal, juga terlebih dahulu melihat karakter kita. Orang berpengalaman seperti dia tentu punya kehati-hatian. Itu kita maklumi saja dahulu. Bahkan tak jarang apa yang ia katakan terkadang menipu pikiran kita. Suka berbelit-belit bila kita tanya. Kadang ilmu yang disampaikannya berkelok-kelok juga bak tali kusut, padahal ada jalan pintas yang lebih mudah (shortcut). Tenang, Itu kadang dibuat sengaja. Ia sembunyikan cara yang praktis dan legal. Percayai saja dahulu, walau kita mengatahuinya kita berbaik sangka saja, inilah trik murid yang mampu menelisik sikap, dan keahlian sang guru.
Hikmahnya begini, bila sang guru mengibuli kita ketika memberikan materi dan kita tahu saat ini sedang dikibulin, tanpa dinyana ini juga ilmu ‘kibul-mengkibul.’ Apakah ini berguna? Oh, jelas. Seandainya ada orang lain yang mencoba dengan trik kibul yang telah kita ketahui ini, tentu akan lebih muda kita mengelak dan mengantisipasinya. Begitu juga berguna nanti untuk menguji murid-murid anda dikemudian hari. Ada untungnya kan? Hehe, ini ada-ada saja yang keenam dari sang pundit. ‘’berbelit-belit dari penyampaiannya juga merupakan ilmu’’
Yang bikin sakit telinga, mala kadang kita diuji-ujinya dulu. Ia pengen tahu bagaimana karakter kita meresponnya. Apa benar kita nih orang baik-baik, orang yang bersungguh-sungguh ingin belajar, jujur sehari-hari dalam laku dan perkataan. Apakah kita lebih mementingkan ilmu dan pengalamannya atau hanya faktor uang semata. Ia kita bakal juga akan mengkaji sampai sejauh ini, dan kita memang perlu siap ‘imajinasi’ antisipasi ujian-ujian ini.
Bahkan tak jarang ia menggertak terlebih dahulu. Bisa saja dengan kata-kata yang menyakitkan. Tapi ingat itu hanya cobaan awal. Biasa seperti kita pindah sekolah ada saja yang mengertak, tidak senang, mengejek, dan seterusnya, ini mesti dilalui. Butuh ketegaran ekstra. Butuh pemakluman keadaan, menyadari kondisi masih di bawah. Tidak melawan walau hati melawan, kematangan spritual dan emosi kita lagi-lagi dituntut.
Melalui kondisi ini cobalah berkata.’’saat ini aku tidak boleh melawan’’ ya..berusaha manut. Ngak lama kok. Paling 2 tahun.’’ Ya, tolong cukupkan 2 tahun belajar dan menimba kemampuannya sampai kita merasa yakin diri.
Itu waktu minimal. Karena banyak ilmu yang tidak keluar langsung begitu saja. Banyak hal tersirat kadang hanya keluar pada waktu-waktu tertentu. Banyak logika yang hanya terpancing keluar ketika ada trouble baru diketemukan. Membungkus dan mengemas berbagai troubleshouting itulah minimal sampai dua tahun. Maka jadilah kita diibaratkan diploma dua tanpa ijazah formal. So, kadang-kadang bisa saja mengalahkan diploma sesungguhnya bila kita lebih tekun.
Untuk itu kita mesti tampil anggun di depannya. Tunjukan bahwa anda jujur, orang baik-baik. Kurangi rasa kekuatirannya dengan apa adanya. Maklumi jika sewaktu pundit sedikit rewel. Bersikap tidak terlalu berlebihan. Bila kita berhasil, dalam sebulan saja kita uda bisa jadi saudaranya, teman menjadi teman, teman menjadi guru, guru menjadi teman. Tetap tempatkan posisi kita pada semestinya, yakni sebagai muridnya pada kondisi yang tepat sekaligus temannya yang baik. Nah, ini yang kadang sulit bagi sebagian orang.
Betapa adilnya Tuhan. Kenapa harus takut lagi bergaul pada orang berilmu tau terpelajar (guru). Yakin, ilmunya juga tidak akan membuat ia sombong-kosong kemudian. Mala biasanya sosok tempat kita berguru lebih meniru ilmu padi. Semakin berisi semakin merunduk. Rundukan batin dan tindak-tanduknya itulah membuat kita makin mudah mendekatinya. Kita ambil manfaatnya, iapun bisa mengambil manfaat dari kita.
Lalu timbul lagi pertanyaan, apa mereka mau dimanfaatkan? Tentu saja mau. Bukankah di atas kita sudah tahu level tinggi rendah hatinya yang menakjubkan. Mereka tidak akan merasa rugi bila kita manfaatkan, mala tambah senang dan memberi kepuasan batin baginya. Kenapa? karena merasa dirinya telah bisa memberi manfaat pada orang lain. Ilmunya makin berkembang dan itu adalah amal jariyah buatnya. Asyik kan.
Lalu siapa saja dan dimana orang yang termasuk berilmu-terpelajar itu kita temukan? Sekarang tidak susah. Mau dunia nyata atau dunia maya juga boleh. Yang nyata adalah guru-guru kita, seperti guru sekolah, pedagang, creative motivator, tukang servis elektronik, tukang bangunan, orang-orang tua yang telah pensiun menjalani kesuksesannya, teman sehari-hari, rekan kerja, pimpinan, dan yang lainnya silahkan anda cari sendiri di sekitar anda walau tidak kenal sebelumnya.
Begitu juga pada dunia maya, silahkan bergabung dengan Sosial pertemanan terbuka seperti facebook, twitter, friendster dan sebagainya. Begitu banyak calon guru yang akan kta dapatkan. Selamat mencari guru
Ajaklah salah satunya berbicara, berkomunikasi yang sopan dan penuh harap. Yakinlah salah satunya akan ada yang melayani kita sepenuh hati. Komunikasi yang tanpa tapal batas dan waktu dunia digital dapat kita ‘kibulasi’ untuk tujuan ini.
Contohnya nih dalam dunia nyata, kita bercakap-cakap pada seorang pak tua telah sukses. Curhatlah, dia akan segera tau apa yang ada di benak kita, keresahan kita. Misalnya ia dulunya adalah seorang pedagang. Ilmunya segera akan berkata sendiri (nasehat) pada kita tanpa diminta. Modifikasi kata-kata di zamannya sesuai keadaan kita sekarang. Kadang hanya logika sederhana yang disampaikannya, ternyata rahasia sederhana itu yang belum ada pada pemikiran kita. Yang sederhana itulah yang kita cari dan hargai dari guru-guru atau pemberi nasehat kita.
Untuk memulai (praktek) langkah-langkah di atas yang paling mendasar adalah mengakui kelebihan mereka, ini awal mula penghayatan. Walau itu teman sendiri bahkan mungkin yang kita anggap musuh. Pengakuan ini sangat penting. Tanpa ada ucapan pengakuan dalam hati terlebih dahulu, masih sangat susah kita akan mendapatkan ilmu (skill) yang kita inginkan. Berikutnya pengakuan dengan perbuatan kita, disini bermula rasa penghargaan kita padanya. Pernghargaan kitapun berbuah reward darinya.
Begitu panjang cerita kita tentang cara berguru yang benar. Pada saatnya kita pasti berpisah dengannya. Itulah tuntutan hidup personal kita untuk mandiri. Para guru memahami ini, walau sebenarnya ia bersedih di antara gembiranya.
Suatu waktu bila kita jauh dari mereka. Mereka tidak akan lupa pada kita sampai kita sukses. Hehe, saatnya kita ‘dikawal guru’.
Sebelum berhasil nanya terus keadaan kita. Walau pada awalnya ia bukan bertanya apakah uda sukses?, apakah sudah punya usaha? Bukan itu yang akan ditanyakannya. Kadang guru begitu lucu dan aneh memotivasi kita. Seperti hanya thumbs up di facebook telah mampu mendorong semangat kita berlipat-lipat dan semangat tersendiri.
Dengan demikian tiada alasan lagi untuk kita melawan guru, yang telah mendidik kita dengan sikap, sindiran, cacian, bahkan tunjuk-ajar secara langsung. Bagaimana pula agar kita tidak terkesan melawan? Jika anda mendapatkan skill darinya pergilah turun gunung, begitu istilah perguruan masa dahulu. Ya, sekarang boleh kita istilahkan merantau. Pergi jauh dari daerah sang guru, agar ketergantungan kita padanya betul-betul berbuah kemandirian (praktek sendiri).
Terakhir mari kita ingat, sosok yang kita anggap guru bukanlah manusia super. Yang harus kita tuntut untuk sesempurna mungkin dalam tindakan, perkataan dan perbuatannya. Ada istilah ‘guru kencing berdiri murid kencing berlari.’ Itu sudah kuno, sekarang apa yang positif kita ambil darinya, yang negatif kita buang saja. Mencari orang yang betul sempurna wah, sulit. Dan yang sempurna itu hanya terdapat pada Sang Teladan.
Batam, 04 Juni 2009
By Agus Hendri Cher
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar for this post