TAMPAK PENGANGURAN TAPI TIDAK NGANGUR

By Golfing Enthusiast on 07.28

Filed Under:


Kita telisik (bukan cari kutu lho) teman-teman kita yang mencoba mengantungkan hidup mereka dari pasar. Pasar tradisional, pasar kaki lima, pasar kampung, pasar loak, pasar baru, pasar senggol, pasar gambut, pasar terapung atau barangkali anda menamakannya dengan istilah sendiri, silahkan saja saya tidak berhak melarang!


Kita telisik (bukan cari kutu lho) teman-teman kita yang mencoba mengantungkan hidup mereka dari pasar. Pasar tradisional, pasar kaki lima, pasar kampung, pasar loak, pasar baru, pasar senggol, pasar gambut, pasar terapung atau barangkali anda menamakannya dengan istilah sendiri, silahkan saja saya tidak berhak melarang!

Yang menggelitik anda dari jenis pasar itu pasti pasar senggol. Apakah anda sudah pernah mendengarnya? Saya yang sok mengada-ngada, yakin. Pasti ada dari pembaca yang belum mendengarnya.

Kisahnya begini, kenapa saya sampai berani mengatakan pasar senggol itu ada. Dulu ketika masih SD seorang guru saya bernama Mukinin saat mengajar pandai sekali melucu. Memang ia sangat pandai. Buktinya, sudah berlalu puluhan tahun metaforanya itu masih terngiang dan merasa tidak mungkin dilupakan. Terasa, Beliaulah orang pertama setahu saya yang mengistilahkannya. Kami kecilpun tertawa, Haha.

Saat itu pasar kampung atau kecamatan diadakan seminggu sekali. Tidak seperti sekarang, pasar kecamatan sudah mulai ramai, ada saja penjual dan pembeli setiap hari. Ketika itu, karena diadakan sekali seminggu tentu saja pengunjung pasar menjadikan hari pasar seperti hari liburan kerja. Jika pasarnya hari kamis, maka hari itulah libur nasionalnya masyarakat lima kilometer-an dari pasar. Yang berkebun dan bermalam di ladang berpindah pada keluar hutan.

Berjubelnya pengunjung dan pedagang dadakan di pagi hari yang berbelanja berbaur dalam satu waktu, menjadikan gang-gang laluan di dalam pasar sangat padat nyaris berdesakan tanpa cela. Pokoknya kalau ada yang nyelinap di bawah kaki pasti tidak tau orangnya.

Nah, disaat berdesakan inilah pantat-pantat pengunjung saling berdempet, bersenggolan satu sama lain. Pantat tua-muda, dewasa-remaja sampai tidak bisa teralakan, sepertinya sudah menjadi kewajaran dan menjadi pemandangan ngak usah dipandang lagi, sudah biasa (tangan pun dijaga agar tidak megang yang lain).

Kebiasaan yang memang tidak dikondisikan lahir begitu adanya. Kadang kawula muda yang suka iseng tak dipungkiri pula ‘buat-buat’ senggol yang disengaja, terutama pada cewek yang cantik yang dipujanya sekelip mata. Bisa saja nanti berakhir pandangan hati pertama, seterusnya berbuai jodoh.

Pengunjung pasar datang dari berbagai desa dan pelosok. Di zaman ini (1980-an) oto (bus) menambang ke pasar masih jarang. Awak bus (sopir) pun jadi primadona para cewek-cewek kampung. Maka berebutlah cewek-cewek bergincu merah minor duduk dekat sopir. Dan punya suami sopir adalah impian, kan punya mobil, walau sebenarnya mobil si bos, hehe.

Ya, cerita itu hanya selingan saja. Walau nyata dan dulu benar-benar ada, tapi seiring perkembangan zaman menuju situasi pasar yang makin bersih dan lapang, situasi masa lalu itu sudah tergerus modrenisasi.

Di antara pasar yang kita sebutkan, tentu ada teman, keluarga, atau kenalan kita yang mengantungkan hidupnya dari pasar. Bila sudah ada keluaga sebagai pendahulu, tentu kita tidak gagok lagi menghadapi situasi pasar. Sudah ada yang kita contoh dan melatih kita bergulat hadapi kesembrawutan pasar.

Bagi yang jauh dan tidak memiliki ‘pelatih’ dagang menurun dapat belajar sendiri dengan mempelajari atau mengamati kebiasaan orang pasar. Lihat kalau di pasar mereka selalu duduk di kedai kopi. Ngerumpi-ini, ngerumpi-itu membicarakan bisnis. Sebagian ada yang bilang bisnis itu dengan beberapa istilah ; tender, can (chance), lokak atau entah apa pula kebiasaan di tempat anda kalau mengatakan sebuah peluang itu dalam istilah yang pas jadi pameo.

Dari peluang-peluang itu, antara yang satu berbagi ke teman yang lainnya, saling memberi peluang. Atau bila peluang itu tidak tuntas saat itu, bisa jadi berantai dari mulut ke mulut teman lain yang tidak ada saat itu. Bisa juga bual-bual ini (bullsit) terjadi pemecahan masalah. Atau mungkin saja bual-bual ini dintip orang lain dan menjadi ilmunya. Ia beraksi dengan ilmu yang di dapat meninggalkan yang punya ide. Bisa saja, siapa yang cepat beraksi dialah yang menang.

Dari meja kedai kopi inilah mereka memulai sesuatu yang menghasilkan uang. Lain meja lain pula cerita bisnis mereka. Yang unik, setelah mereka keluar kedai mereka menyebar entah kemana. Saat hilang itulah mereka mengeluarkan keringat menggali rezeki masing-masing. Atau mala ada yang tidak mengeluarkan keringat, sekedar jadi calo (istilah Padangese; tembak di atas kuda). Ada juga ngatur sini ngatur sana, uang dapat juga. Yang menjengkelkan para pedagang, pas pasar usai kutip sini kutip sana entah siapa yang nyuruh ngutip (pungutan liar kali).

Yang membuat iri kita melihat mereka, untuk minum setiap hari di kedai kopi kelihatan selalu saja ada uang (dompet berisi terus). Tentu demikian pula keluarga mereka di rumah. Begitu mudahkah mereka mencari uang? Ya, kebanyakan mereka memang berani malu dan berani rugi. Seperti juga mereka kadang berani ‘mabuk’, bagaimana pasar jadi sumber uang. Mereka tau saja slah mendapatkan uang dari pasar. Mungkin sebagai pengumpul, penampung, pemasok, grosir, toke, penjual, tukang jasa angkutan, dan seterusnya bahkan tak jarang jadi ajang bisnis barang antik yang banyak tidak mungkinnya itu.

Dari obrolan kedai kopi itu sempat juga saya simak beberapa analisis dari apa yang terbatas dari mereka. Ya, maklum orang pasar. Kadang tidak salah pula kita mengatakan mereka hidup dalam lingkungan keras, penuh persaingan dari berbagai strata asal, bahkan ada yang tidak tamat ‘wajib belajar’.

Yang tidak kena wajib belajar, tentu logika mereka terbatas. Padahal logika itu berlandaskan ilmu dan pengerucutan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Akibatnya berujung pada managemen hati yang kurang pas. Ada yang bilang mendapatkan kesempatan itu sangat sulit. Lain sisi mereka mereka juga merenungi bagaimana membuat kesempatan itu. Apalagi berguna bagi orang lain, ini bagi mereka yang memiliki hati nurani. Orang-orang ini biasanya para penunggu mesjid pasar (pedagang kanan).

Yang ngeri nih, bagaimana cara mengutip dan ‘mengerjain’ pedagang lain. Wah!, ini ngak boleh terjadi apalagi ditiru. Yakin, suatu waktu kita juga akan dikerjain orang lain, yang mungkin saja bukan dari orang-orang yang kita kerjain. Apalagi sampai menipu pembeli dengan mengurangi timbangan, membohongi nilai modal, tidak transparan antara barang yang baik dan buruk, dan sebagainya. Hukum Tuhan berlaku, berbalik mental seperti kita melempar bola ke dinding. Inilah para pedagang kiri di pasar.

Yang asyik saya mendengar seorang pedagang bercerita tentang pengalamannya berdagang jengkol. Ia bisa menperkirakan satu pohon itu berapa karung bila diisikan jengkol menurut besarnya buah jengkol. Ia menggunakan paduan dua, tiga jari untuk mengukur besar diameter jengkol. Juga bisa memperkirakan dalam satu karung itu berapa biji jengkol yang ada. Dengan pengetahuan hasil pengalaman berulang ini, Ia menjadi mudah menawar dan mematok harga beli dan jual. Begitulah pengalaman yang asyik, disimak dihayati biasanya tidak jauh meleset. Seperti hitungan quik count pemilu saja.

‘’Tebal dompetnya, bang’’ tanya saya ketika jadi pemain pasar. ‘’Haha, ya tebal tapi duit orang lain. Tapi walau duit orang, cukup bikin hati kita senang dan perut jadi tidak mudah lapar’’ ‘’Lho kok bisa bikin kenyang?’’ tanya saya. ‘’Ya, asal kita jujur megang duit orang, cukup ambil keuntungan kita saja, sisanya adalah hak yang punya modal. Bisa menghitung dan memegangnya saja membuat saya sudah bangga, walau nanti pasar usai uang ini harus saya setor sama bos, He he’’ dia tertawa. ‘’Wah, kelihatan abang jujur dan menjaga kepercayaan pemberi barang’’ ‘’Lha iya dong, modal kepercayaanlah maka saya bisa bertahan jadi orang pasar selama ini, hehe’’ pengakuan yang jujur dari hati yang jujur.

Terlena kita pikir kesempatan baik itu sebenarnya datang setiap saat. Berbagai latar-belakang dari teman-teman membuahkan pemikiran mengerucut menjadi peluang. Ada dimana saja, kapan saja, tidak terpaut umur. Semua bisa bergabung dan dimulai dari silatuhrahmi, obrolan, bual-bual kedai kopi. Seperti bapak di atas asal ada kemauan dan jujur ada saja yang akan memberi kita peluang di pasar. Seperti menjualkan barang orang. Bila laku untung kita ambil, modal kita kembalikan dengan pas, barang yang tidak laku kita kembalikan dengan utuh dan rapi. Tanpa modalkan?! Asal ada niat, dan mau menjaga kepercayaan (amanah) orang lain, akan ada saja tawaran yang tak diduga.

Cuma, seringkali kita lalai dan tidak jujur ketika memilah, menunggu, menemui, suka menunda-nunda dalam melaksakannya, padahal kita tau sesuatu hal itu baik atau buruk. Atau barangkali kita terlalu kasar dan mau menang sendiri pada mitra atau teman kita di pasar. Apalagi terhadap pembeli, harus ‘lemah gigi dari pada lidah,’ begitu kata orang tua kita. Saatnya kita jadi pemain pasar harus empati, berlaku empati bukan saja menarik rejeki yang tersembunyi tapi juga mendatangkan rejeki tanpa kita duga.

Tapi kebayakan dari kita masih mengandalkan otot dan kekasaran mulut untuk memuluskan kehendak bisnis. Inilah preman pasar yang susah kaya, kalaupun jadi kaya, kaya dari hasil kekasaran. Dan kembali kekasaran itu yang membuat mereka miskin kembali. Sekurang-kurangnya miskin hati nurani.

Jadi berbisnis dengan kekuatan mulut kasar dan otot yang besar terjadi di pasar tradisional selama ini hanya ibarat buah masak batang yang telat gugur, yang akhirnya akan busuk. Tercampak tanpa dipedulikan orang kecuali si lalat buah yang juga suka kebusukan.

Maka jika kita sebagai pemain pasar tradisional, buatlah situasi yang ada sebagai peletak dasar seperti membangun tembok cina, bertahan berabad-abad. Yang muda belajar dari pemain lama. Yang sudah berpengalaman mengajari dan mengingatkan yang muda bagaimana menjalani persaingan ketat dan keras di pasar, menjadi situasi yang lunak, tolong-menolong, saling percaya dan jujur, tidak menekan, apalagi memperdaya.

Yah… pasar tradisional dapat kita jadikan sebagai sekolah nonformal untuk mendidik kawula muda, anak-anak kita, dan saudara menjadi entrepreneur handal (tulen). Sewajarnya, pemerintah mulai membina pasar tradisional, kaki lima ke arah yang lebih baik. Yakni dengan membina dan memfasilitasi segala bentuk kekurangan menuju standar managemen modren yang layak bagi semua.

Lihat saja bos Robinson, sangat menghargai pedagang kaki lima karena ia dulu berasal dari kaki lima. Dapat juga mencontoh dua pengusaha sukses asal Pekanbaru, yaitu bapak Basrizal Koto pemilik beberapa grup surat kabar, dulunya juga orang pasar. Atau pemilik PT. Awal Bros mitra distribusi minyak pertamina dan rumah sakit Awal Bros yang yang dulunya hanya pengecer minyak tepi jalan, kini telah memiliki cabang rumah sakit di beberapa kota berstandar internasional.

Mulai saat ini, bila jadi pengangguran, jangan segan-segan bermain dan bergaul dengan orang pasar. Tapi jadikan pasar seperti orang yang tampak penganguran tapi tidak ngangur. Rajin-rajinlah main ke pasar saat pagi hari. Dekati orang orang pasar, bantu-bantu mereka semampunya. Itu akan membuatmu bahagia beberapa bulan ke depan. Kenapa? Bergaul dengan orang pasar menginspirasi lubuk lain sebuah ketulusan yang jujur, bahwa betapa banyak rezeki di pasar.

Batam, 2 Juni 2008

Oleh : AGUS HENDRI CHERMIN

0 komentar for this post

Posting Komentar

terima kasih